Satu dari lima penduduk Bali diduga mengalami gangguan kejiwaan. Anak-anak pun kini rentan mengalaminya. Mari kenali ciri-cirinya dan cegah selagi bisa.
Erifa Ruslan (48), seringkali mengalami perubahan mood (suasana hati) yang ekstrim secara tiba-tiba sejak duduk di bangku SMA. Suasana hatinya bisa tiba-tiba berubah dari senang luar biasa menjadi sedih yang sangat disertai rasa putus asa, tanpa sebab yang jelas. “Rasanya kepala saya seperti penuh, tidak jelas kenapa. Dan itu seringkali terjadi,” kisah Rifa.
Baru sekitar 11 tahun lalu, ia berusaha mencari tahu penyebab sakit yang membuatnya seringkali seolah berada di luar alam sadar. Hal itu dilakukan setelah ia merasa sudah tidak mampu mengontrol dirinya sendiri.
“Waktu itu, saya selalu diliputi rasa ketakutan. Seolah semua orang adalah malaikat pencabut nyawa. Kadang saya teriak-teriak sendiri tanpa sebab,” kenangnya.
Dokter memvonis Rifa mengalami bio polar, salah satu jenis gangguan jiwa yang ditandai oleh perubahan mood, pikiran, energi dan perilaku yang dramatis. Sejak vonis itu datang, Rifa baru mendapat penanganan medis dari dokter. Tanpa memberitahu keluarganya, ibu empat anak itu menjalani terapi pengobatan rutinnya secara diam-diam. Dia harus minum obat tiga kali sehari secara rutin. Dengan begitu, perempuan yang sehari-hari berjualan nasi uduk itu tetap bisa melaksanakan aktivitasnya seperti biasa. Ia juga menjabat Sekretaris Perhimpunan Jiwa Sehat, sebuah komunitas dukungan sebaya dari sekitar 800-an pengidap gangguan jiwa di Indonesia.
Ahli kejiwaan Made Sugiharta Yasa mengungkapkan, gangguan kejiwaan bisa dialami siapa saja, tanpa kecuali. Tidak hanya dialami orang dewasa, gangguan jiwa juga dapat menimpa anak-anak.
Pria yang sehari-hari menjabat Direktur Rumah Sakit Jiwa Bangli itu menjelaskan, saat ini sekitar 20 persen penduduk Bali diperkirakan telah mengalami gangguan kejiwaan dalam berbagai level. Sebagian besar diantaranya mengalami gangguan kejiwaan pada level terendah, atau biasa disebut stress atau cenderung depresi. “Artinya, satu dari lima penduduk Bali telah mengalami gangguan kejiwaan. Namun levelnya masih rendah, dan sebagian besar tidak menyadarinya. Rasa cemas berlebihan misalnya, sudah tergolong sebagai gangguan kejiwaan,” jelas Sugiharta.
Dari jumlah tersebut, ada sekitar 12.000 orang yang mengidap gangguan jiwa berat. Mereka tersebar di seluruh wilayah Bali, terutama daerah Karangasem dan Buleleng.
Kerusakan Sistem Otak
Gangguan kejiwaan bisa dipicu oleh berbagai masalah yang dihadapi seseorang. Penyebab utama gangguan kejiwaan sebenarnya terjadinya kerusakan pada sistem otak. “Hal utama penyebab gangguan jiwa karena memang sudah ada kerusakan pada sistem otaknya. Sistem otaknya menjadi rusak karena penyakit ini kalau lama tidak diobati, makin rusak. Masalah-masalah yang dihadapi si penderita, memperberat kondisinya,” terang Sugiharta.
Gangguan otak, bisa disebabkan oleh berbagai hal seperti adanya kelainan pada proses kehamilan atau waktu dalam kandungan, saat proses persalinan, atau adanya trauma yang menyebabkan infeksi pada otak. Faktor makanan juga diakui dapat memicu kerusakan pada otak.
Cegah Selagi bisa
Kerusakan pada otak tidak serta merta membuat seseorang mengalami gangguan kejiwaan. Dikatakan Sugiharta, gangguan kejiwaan umumnya dipicu oleh masalah-masalah yang dihadapi penderita kerusakan otak tersebut. Selain itu, kerusakan otak yang masih ringan dapat menjadi semakin parah bila tidak diobati.
“Masalahnya, biasanya para penderita umumnya diobati setelah mereka menimbulkan masalah sosial di masyarakat, seperti mengamuk atau merusak. Padahal seharusnya mereka bisa diobati sebelumnya, sehingga tidak sampai menimbulkan masalah social,” kata Sugiharta.
Dikatakan, penyakit gangguan jiwa sama persis seperti penyakit menahun yang perlu perawatan sepanjang tahun, seperti diabetes. Bedanya, diabetes dialami karena adanya kerusakan pada pancreas sedangkan gangguan jiwa dialami karena kerusakan pada otak. “Tapi kedua-duanya perlu dirawat, karena bisa kumat sewaktu-waktu,” tegasnya.
Jangan Didiskriminasi
Pengidap gangguan jiwa tidak sekadar membutuhkan pengobatan medis dengan obat-obatan. Menurut Sugiharta, pengidap gangguan jiwa harus di-support untuk bangkit dari keterpurukan.
Ironisnya, banyak pengidap gangguan jiwa yang justru didiskriminasi oleh masyarakat sosialnya. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang dipasung, diikat pada satu ruangan pengap dan diperlakukan dengan tidak manusiawi.
Saat ini diperkirakan ada sekitar 350 orang pengidap gangguan jiwa di wilayah Bali yang masih mengalami pemasungan. Sebagian besar diantaranya berada di wilayah Karangasem dan Buleleng.
Kementerian Kesehatan RI sendiri memperkirakan ada sekitar 20.000 pengidap gangguan jiwa di seluruh Indonesia mengalami pemasungan. Jumlah tertinggi terdapat di Jawa Tengah. “Sebagian besar masyarakat melakukan pemasungan dengan alasan malu memiliki keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Selain karena mereka tidak paham bagaimana menanganinya,” jelas Diah Setia Utami, Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI.
Upaya memberantas pemasungan sendiri mengalami banyak hambatan karena ketidakpahaman masyarakat tentang penyakit ini. Padahal Kementerian Kesehatan sendiri sempat menargetkan Indonesia bebas pemasungan pada 2014. Namun target itu kini diundur menjadi tahun 2020. “Karena ternyata memang tidak mudah memberantas praktik pemasungan ini,” ujar Diah. (viani)
PERHATIKAN KESEHATAN JIWA ANAK ANDA
GANGGUAN kejiwaan bisa dialami siapa saja, termasuk anak anak. Beratnya beban pelajaran di sekolah meningkatkan potensi anak mengalami gangguan kejiwaan.
Profesor bidang ilmu kejiwaan Luh Ketut Suryani meminta para orangtua lebih waspada pada kondisi kejiwaan anak-anak mereka. “Sekarang sudah mulai ditemukan kasus gangguan jiwa pada anak-anak. Siswa sekolah dasar pun sudah mengalami gangguan jiwa,” jelas pendiri Suryani Institute for Mental Health, sebuah yayasan yang menangani penderita gangguan jiwa di Bali.
Dijelaskan Suryani, semakin beratnya beban kurikulum pendidikan di sekolah dapat menjadi pemicu kuat peningkatan jumlah pengidap gangguan kejiwaan pada anak-anak.
“Karena itulah, kita berharap pemerintah memperhatikan beban kurikulum yang diberikan, termasuk metode pembelajaran oleh guru yang cenderung terlalu membebani anak-anak. Ini membahayakan, makin lama makin berat karena makin muda usia yang terkena gangguan kejiwaan,” ujarnya.
Metode pendidikan yang mengharuskan siswa bisa membaca, menulis, dan berhitung sejak pagi hingga sore, sangat membahayakan kondisi psikologis anak. “Harapan saya maukah guru-guru memahami perkembangan mental anak. Misalnya jangan paksa belajar tetapi membuat anak TK, SD kelas satu sampai tiga terangsang punya semangat belajar, mau belajar, berani ngomong. Itu difokuskan. Jangan langsung focus ke membaca, menulis dan berhitung saja,” harapnya.
“Anak-anak harusnya diajak menyanyi, karena menyanyi adalah mengekspresikan emosi, termasuk bercerita, mendongeng lewat cerita untuk memasukkan nilai baik dan buruk,” tambah Suryani.
Mendongeng lewat cerita, kata dia, seharusnya lebih banyak dilakukan orangtua. Sayangnya, sebagian besar orangtua kini sibuk bekerja tanpa menyisihkan waktunya untuk melakukan itu.
Gangguan kejiwaan pada anak-anak juga sangat berpotensi terjadi bila ia kerap melihat keributan antar kedua orangtuanya. “Kalau orangtua sering ribut, apalagi saat anak dalam kandungan sampai berusia 10 tahun, itu akan menyulut gangguan jiwa pada anak di masa depannya. Karena itulah masa untuk membuat anak mampu melihat situasi. Jika orangtua dapat memberikan pendidikan tanpa beban pada anak di usia tersebut, maka di sanalah ditentukan masa depannya,” tandas Suryani. (viani)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kutipan (breaker):
“Sebagian besar masyarakat tidak menyadari kalau mereka mengalami gangguan jiwa. Rasa cemas berlebihan misalnya, sebenarnya sudah tergolong sebagai gangguan kejiwaan,” Made Sugiharta Yasa, ahli kejiwaan.
“Kalau orang tua sering ribut, apalagi saat anak dalam kandungan sampai berusia 10 tahun, itu akan menyulut gangguan jiwa pada anak di masa depannya,” Luh Ketut Suryani, pendiri Suryani Institute for Mental Health.