Tudingan sebagian besar orang yang menyebut banyak pengusaha bidang pariwisata selalu berinvestasi seenaknya tanpa memperhatikan lingkungan, agaknya tidak berlaku bagi pria pemilik nama I Gusti Agung Prana. Ia justru tampil sebagai salah satu tokoh penyelamat lingkungan di kawasan Pemuteran, Gerokgak, Buleleng, tempatnya membangun usaha penginapan.
Agung Prana, begitu ia biasa disapa, telah merintis sebuah upaya penyelamatan terumbu karang di kawasan Teluk Pemuteran sejak tahun 2000 melalui Yayasan Karang Lestari yang dibentuknya. Program rehabilitasi terumbu karang tersebut dilakukan bekerjasama dengan dua orang ahli terumbu karang dari the Global Coral Reef Alliance, Amerika Serikat, yakni Thomas J Goreau dan Wolf Hibertz.
Mereka memulai melakukan rehabilitasi terumbu karang dengan teknik baru yakni dengan mengalirkan listrik bertegangan rendah pada kerangka rumpon di bawah dasar laut, atau biasa disebut biorock. Rumpon-rumpon itu kemudian ditenggelamkan di dasar laut sedalam sekitar 12 meter. Ribuan bibit terumbu karang juga diikat dengan kawat pada rumpon tersebut, lalu dialiri listrik berkekuatan rendah sekitar 12-20 volt. Aliran listrik ini memberi dampak pada semakin cepatnya perkembangan terumbu karang.
Hingga kini, luasan terumbu karang yang telah terbangun di kawasan laut pemuteran telah mencapai 2 hektar. Proyek tersebut secara tidak langsung juga membuat laut pemuteran kembali dihuni banyak ikan yang menjadi sumber pendapatan nelayan setempat. Meski jauh sebelum proyek rehabilitasi karang itu diterapkan, Prana sudah merintis penyelamatan lingkungan dengan membangun kesadaran masyarakat atas pentingnya menjaga lingkungan.
Keberhasilan Agung Prana dan timnya dalam merehabilitasi terumbu karang di wilayah pemuteran, sudah mendapat pengakuan dunia internasional. Badan Program Pembangunan Dunia (UNDP) memberikan the Equator Prize, sebuah penghargaan tertinggi bidang lingkungan, kepada Yayasan Karang Lestari atas kesuksesannya mendorong pembangunan berkelanjutan dan peduli lingkungan dengan berbasis pada komunitas. Penghargaan tersebut diserahkan langsung dalam Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro, Brazil, pada Juni lalu.
Pada kesempatan yang sama, UNDP juga menyerahkan UNDP Special Award for Marine and coastal zone management, sebuah penghargaan bidang manajemen kelautan.
Ini bukan penghargaan satu satunya yang pernah diterima Yayasan Karang Lestari. Sejumlah penghargaan bidang lingkungan pernah diterima, diantaranya Penghargaan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan atas manajemen kelautan berbasis masyarakat terbaik tahun 2002, Asianta Award pada 2005, Kalpataru dari Presiden RI pada 2005, Penghargaan Kepeloporan dari Pemerintah Provinsi Bali pada 2007, Pacific Asia Travel Association (PATA) Gold Award pada 2008, dan Tri Hita Karana Award pada 2011. Terbaru, pada September lalu, Prana menerima penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.
Dalam perbincangan dengan Galang Kangin, Agung Prana menjelaskan bagaimana ikhwal ia mulai memelopori penyelamatan karang di Pemuteran.
Bagaimana awalnya Anda memulai bisnis di kawasan Pemuteran Gerokgak yang sangat tandus dan jauh dari gemerlap pariwisata Bali Selatan? Awal kami menemukan tempat ini, saat kami melakukan tirta yatra ke Pura Pulaki dan Pura Melanting. Pada waktu kami temukan, Pemuteran dalam keadaan yang cukup parah kerusakannya. Tetapi intuisi kami menangkap, dalam perjalanan spiritualitas, bahwa Pemuteran itu memiliki potensi yang sangat besar yang tersembunyi di balik kehancurannya. Maka itulah kami mempunyai komitmen untuk merehabilitasi potensi itu dengan mengajak peran serta masyarakat. Kami mengajak masyarakat melakukan studi banding ke pusat-pusat perkembangan pariwisata yang ada di Bali. Mereka bisa memahami niat baik yang kami usung ke Desa Pemuteran. Itulah awal dari semua itu.
Kenapa tertarik mengembangkan Pemuteran sebagai destinasi wisata?
Saat menemukan Pemuteran, kami seolah-olah terpanggil untuk merehabilitasi dan menjaga keadaan ibu pertiwi yang begitu besar potensinya, tapi hancur karena maraknya aktivitas pengeboman ikan dan penggundulan hutan.Kalau dilihat dari perhitungan ekonomis, itu nonsense. Apalagi sesudah saya mendatangkan pakar pariwisata dari sejumlah hotel berbintang di Bali, mereka semua meremehkan. Mereka malah balik nanya, ini tempat apa? Bali selatan jelas lebih hijau, sedangkan di sini super kering. Hancur. Tapi intusisi hati nurani saya terpanggil. Padahal pada saat itu, saya baru saja mengumumkan penutupan usaha garmen saya karena tidak kuat menampik bombardir produk garmen dari Cina dan India.
Apa yang kemudian dilakukan sebagai upaya pelestarian?
Kami menyadari pentingnya community based development dalam membangun sebuah usaha pelestarian. Karenanya kami mengajak keterlibatan masyarakat dari awal memikirkan perencanaannya, sampai dengan melakukan hal-hal kecil. Pada saat kami mulai menyampaikan niat kepada masyarakat, diujilah goodwill kami oleh Yang Maha Kuasa. Kami sempat ditolak masyarakat setempat. Mereka bilang, kami sudah gak makan. Makan sekali dari hasil laut, sekarang bapak stop kami, memang kami mau makan apa? Memang air laut mau dimakan? Ujiannya seperti itu.
Seperti apa respon masyarakat ketika itu?
Saat itu di tahun 1992 kami membangun hotel dengan jumlah 8 kamar. Sejak itu masyarakat sudah secara spontan serta merta berhenti melakukan penangkapan ikan dengan cara-cara yang destruktif. Di situlah karang mulai tumbuh. Di situlah wisatawan mulai datang. Justru wisatawan yang datang itu mempunyai point of interest. Yang mereka cari ke situ adalah pariwisata laut, diving dan snorkeling, pariwisata spiritual, pariwisata kembali ke alam. Itulah yang sesungguhnya memang dimiliki oleh Pemuteran. Pariwisata tumbuh, karang laut pun ikut tumbuh karena masyarakat yang diberikan kesempatan prioritas untuk berbagai manfaat itu betul-betul menjaga.
Menurut Anda, apa kunci dari kesuksesan program rehabilitasi karang di Pemuteran?
Jelas, keterlibatan masyarakat. Masyarakat ikut proakif, walaupun masih ada yang mencuri sekali-sekali. Karena teknologi yang sama sudah dicoba eksperimennya di beberapa negara seperti Filipina, Maldive, Amerika Selatan dan beberapa negara lain, dan karena tidak ada masyarakat yang menjaga dan mendukungnya, mereka gagal. Nah sekarang ini proyek rehabilitasi karang berbasis masyarakat dan didukung oleh teknologi ini adalah yang terbesar dan sukses di dunia.
Apa harapan Anda setelah ini?
Kami berharap upaya pelestarian yang sama juga bisa sukses di beberapa tempat lain di Indonesia. Saat ini, metode yang sama sudah mulai diterapkan di Pulau Komodo dan Gili Trawangan. Saya sendiri sempat datang ke sana untuk berbagi pengalaman dengan masyarakat setempat, soal bagaimana self motivation masyarakat itu kita bangun dan sudah diterapkan. Saya senang kalau daerah lain juga dapat menerapkan program serupa. (viani)