I Made Adi Wijaya (29), tak pernah menyangka kalau ia bakal menyandang gelar Master Ceki 2012, sebuah gelar tertinggi bagi pemain ceki se-Bali saat ini. Gelar itu disandangnya setelah mengalahkan 499 orang pesaingnya dalam “Turnamen Ceki 2012” yang digelar Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) Daerah Bali, 8-9 Desember 2012.
“Ini benar-benar keberuntungan. Saya awalnya hanya iseng ikut turnamen ini. Eh, ternyata kok menang,” ujar pria asal Karangasem itu santai. Tak hanya menyandang gelar master. Wijaya juga membawa pulang piala dan uang tunai Rp 15 juta.
Ceki jadi turnamen? Ya, ini merupakan turnamen ceki pertama yang pernah digelar di Bali, bahkan di Indonesia. Selama ini, ceki dikenal sebagai permainan kartu tradisional yang identik dengan judi. Permainan yang umum dilakukan saat magebagan (menjaga jenazah sejak persiapan hingga pelaksanaan ngaben), atau upacara lainnya, selama ini seringkali menjadi ajang taruhan. Dari hanya bertaruh Rp 1.000 hingga mencapai Rp 300.000 sekali permainan, bahkan leih. Tak jarang pula, para pemain ceki harus main petak umpet dengan aparat polisi.
“Kalau tidak ada acara adat, ya nggak berani main ceki. Jadi sebenarnya saya jarang sekali main ceki,” kata Wijaya yang mengaku tidak melakukan persiapan apapun untuk mengikuti turnamen.
Turnamen yang diikuti 500 pemain ceki dari seluruh Bali itu, bagi FORMI Bali, menjadi awal kebangkitan permainan ceki tanpa mengidentikkannya dengan judi. FORMI Bali mensyaratkan “bebas judi” kepada seluruh peserta sepanjang permainan. Artinya, seluruh peserta dilarang memasang taruhan dalam permainan. Tak heran bila tidak ada sama sekali uang di meja cekian.
“Setiap meja diawasi oleh satu orang wasit. Tidak cuma untuk mengawasi jalannya permainan agar sportif, wasit juga sekaligus bertugas memastikan bahwa tidak ada taruhan. Kalau ada yang bertaruh, bisa didiskualifikasi,” jelas sekretaris panitia, Gede Joni.
Menurut Agung Dharma, seorang peserta, agak aneh rasanya bermain ceki tanpa taruhan. “Agak aneh sih, karena biasanya pasti pakai taruhan, walaupun kecil. Tapi lumayan seru juga jadinya,” kata pria asal Mengwi Badung itu.
Ikuti Buku Panduan
Turnamen Ceki 2012 menjadi even pertama yang digelar FORMI Bali paska dilantik 29 September 2012. “Sembilan puluh persen lebih orang Bali bisa maceki. Embung (taruhan) besar, embung kecil, embung kacang. Macam-macam. Artinya, ceki ini sudah jadi budaya, maka harus dilestarikan,” jelas Ketua FORMI Bali, Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi.
Namun penyelenggaraannya tidak asal-asalan. Sebelumnya, FORMI telah menggelar diskusi terfokus yang melibatkan unsur Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), akademisi dan pihak kepolisian. Melalui diskusi tersebut, akhirnya dihasilkan buku panduan turnamen ceki yang dengan jelas menyebutkan tidak diperbolehkan sama sekali ada unsur taruhan dalam bentuk apapun. Permainan ceki di luar aturan tersebut, di luar tanggung jawab FORMI dan sudah pasti akan digerebek aparat.
Ubah Image
Ketua DPRD Bali itu secara tegas membantah kalau FORMI hendak melestarikan judi ceki. “Kita tidak ingin kalau bicara ceki, berarti judi. Kita ingin hilangkan image bahwa ceki adalah judi. Ceki ini adalah warisan budaya. Jangan karena ada judi di sana, kemudian budaya kita ini menjadi punah,” jelasnya.
Cok Rat, sapaan akrab Ketua DPD PDIP Bali itu, menegaskan bahwa FORMI Bali mengemban misi melestarikan permainan-permainan tradisional menjadi olahraga rekreasi. Ia berharap ceki bisa menjadi salah satu olahraga rekreasi yang semakin akrab dengan masyarakat, termasuk juga wisatawan asing.
“Bukan mustahil olahraga rekreasi ceki ini bisa jadi salah satu daya tarik wisata ke Bali. Bagaimanapun rekreasi ini kan sebenarnya kebutuhan. Inilah yang akan kita lestarikan. Sama halnya dengan subak yang sangat terkenal sebagai warisan budaya dunia. Apakah ceki ini bisa jadi warisan budaya dunia? Siapa tahu,” ungkapnya optimis.
Diakui Cok Rat, hingga kini belum ada penelitian ilmiah yang mengungkap efek positif permainan ceki sebagai sarana olah pikir. Namun penggemar permainan ceki ini mengaku dampak positifnya dapat sangat dirasakan para pemainnya. “Ceki ini benar-benar olahraga pikiran, walaupun belum ada penelitiannya,” tambahnya. (via)
=======================================================================
BELAJAR DARI GENJEK
STIGMA negatif judi yang melekat pada permainan ceki, coba dihilangkan. Sekretaris FORMI Bali Made Suantina mengakui, tidak mudah menghilangkan stigma judi dari ceki. Apalagi, kecenderungan judi sudah melekat pada permainan ini sejak bertahun-tahun silam.
“Kalau kita tidak berusaha mulai sekarang, lalu kapan? Lama-lama budaya ini bisa punah. Generasi muda sekarang sudah banyak yang tidak mengerti ceki, karena tidak ada transfer pengetahuan akibat stigma judi ini,” ujarnya.
Menurut Suantina, upaya menghapus judi dari ceki sama dengan upaya di masa lalu menghapuskan stigma mabuk pada kesenian genjek. “Genjek dulu identik dengan stigma mabuk. Tapi sekarang, genjek sudah jadi seni pertunjukan yang disenangi masyarakat. Bahkan menjadi pertunjuan favorit untuk mensosialisasikan berbagai program kampanye. Kita belajar dari sana,” tegas Suantina.
Suantina mengakui, banyak pro dan kontra yang mengikuti penyelenggaraan turnamen tersebut. Namun ia mengingatkan, tanpa upaya melestarikan, ceki hanya tinggal sejarah. “Filosofinya sederhana. Kalau ada tikus di dalam lumbung padi, bukan berarti kita harus membakar seluruh lumbungnya karena si tikus bisa jadi kabur. Jadi, ya kita berupaya membersihkan tikus di dalam lumbung itu. Artinya, kita berusaha membersihkan judi dari permainan ceki itu,” jelasnya.(via)