Rencana pemerintah untuk menghapus subsidi pupuk urea bukannya kabar burung. Nyatanya, memasuki tahun 2012, pemangkasan sudah dilakukan. Belum lagi, petani mengeluh karena harganya yang melambung di samping pengadaannya yang cukup sulit. “Dari akhir November 2011 permohonan pengadaan pupuk Urea telah diajukan, tapi sampai mendekati akhir bulan Januari 2012 belum juga datang,” keluh beberapa Pekaseh yang ditemui di sela-sela acara pertemuan bulanan yang rutin dilaksanakan. Lantas, kalau terlambat datang pupuknya, bagaimana solusinya?
Akhir November 2011 lalu, terungkap pula hasil aplikasi pupuk kompos yang dibuat kelompok petani melalui proses fermentasi dengan pupuk Agrodyke sebagai penyempurnanya. “Awalnya, karena bantuan pupuk lambat datang, saya memberanikan diri mencoba anjuran dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) ikut pelatihan yang dipandu oleh Wayan Sandi, dari unit Agro Koperasi Kharisma Madani,” terang Nyoman Linggih, petani dari salah satu subak di Denpasar Timur. Dikatakan, proses pembuatannya langsung di belakang kandang sapi, sehingga tidak perlu biaya angkut yang tinggi. Hanya saja, hasil pupuk yang telah difermentasi perlu diberi peneduh agar tidak terkena air. Setelah diaplikasikan, hasilnya lebih baik. “Biaya usaha tani lebih murah karena tidak membeli pupuk dasar, cukup hanya Agrodyke saja, gabahnya lebih bernas dan lebih berat, berasnya terlihat lebih bening,” terangnya.
Lain lagi dengan cerita pengalaman Wayan Arya, petani di Singapadu, Gianyar. Saat mengairi sawah setelah selesai panen, kotoran sapi tersebut langsung ikut dialirkan. Selanjutnya disemprot dengan 10 sendok pupuk Agrodyke yang dilarutkan ke dalam satu tangki (14 liter).
“Saya mencoba dengan cara tersebut karena ingin mengetahui hasilnya. Ternyata biaya produksinya lebih murah, dan menurut petunjuk Wayan Sandi, hasil secara kuantitas akan mulai terlihat pada panen ketiga.
Memang seperti itu terobosan yang dilakukan guna mendukung program Yarnen (Bayar Panen) Bali Madani, mengingat banyaknya potensi sumber setempat yang bisa digunakan sebagai bahan dasar. Lain daripada itu, bagi kelompok tani atau subak yang ikut program Yarnen, mampu mendapatkan penghasilan yang layak karena berkurangnya biaya produksi. Yang paling ditekankan, dengan pupuk buatan sendiri tentu cara pengaplikasiannya tidak berubah-ubah. Dari sinilah petani akan banyak belajar di lapangan sesuai dengan evaluasi atas takaran penggunaan pupuk organik yang diproduksi sendiri.
“Dengan mengikuti program Yarnen Bali Madani, berarti mulai dari pengolahan lahan sampai padi masak susu, menggunakan pupuk Agrodyke. Dan, hasil panennya akan dibeli oleh Koperasi Kharisma Madani,” jelas Wayan Cita, Kepala Bidang Pengkajian Teknologi Dinas Pertanian dan Hortikultura Denpasar.
Dikatakan, kemitraan koperasi dengan Dinas Pertanian Denpasar pada tahun 2011 lalu dimulai dengan mengikutsertakan Unit Agro dalam program Sekolah Lapang Pertanian Tanaman Terpadu (SLPTT). Untuk program tahun 2012, bantuan bibit akan diupayakan, namun petani diwajibkan mengaplikasikan pola tanam Legowo 4 : 1 dengan arah Utara – Selatan. Agar seluruh tanaman padi mendapatkan sinar secara utuh dari pagi hingga sore harinya. Kemudian, dari Unit Agro akan lebih banyak mendorong petani membuat pupuk kompos sendiri. Selain biaya yang dikeluarkan lebih sedikit, kesehatan petani lebih terjaga dengan mengelola yang serba organik.
Keberhasilan Secara Terbuka
Keberhasilan Mangku Madri dan Nyoman Rajin di Subak Margaya di wilayah Denpasar Barat pada panen yang baru saja berlalu, juga memacu keinginan petani dari subak lainnya untuk mengikuti program Yarnen Bali Madani. Hal tersebut terungkap pada pertemuan seluruh pekaseh yang diadakan di Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Denpasar Barat, 19 Desember 2011 lalu.
“Untuk memudahkan petani, agar pupuk Agrodyke ditempatkan di kantor BPP Denpasar Barat saja,” terang Made Nuana, koordinator BPP Denpasar Barat. Diimbau agar segera menyiapkan waktu untuk mengikuti pelatihan pembuatan kompos fermentasi. Dan juga diingatkan agar menjelang panen nantinya diminta kepada para pekaseh untuk berkoordinasi dengan koperasi, kemana hasil panen tersebut akan diproses. Pasalnya, koperasi juga bekerjasama dengan penyosohan padi untuk mendapatkan berasnya.
Satu hal yang cukup mendasar dari program Yarnen Bali Madani, yakni cara panen dikembalikan kepada keinginan sebagian besar petani. Mekanisme yang terjadi selama ini di mana mereka lebih memercayakan hasil panennya dikelola oleh para tengkulak. Apa yang pernah ditawarkan koperasi dengan cara panen dihargai per kilogram gabah rupanya memerlukan pembuktian secara perlahan. Tujuannya, petani maupun koperasi bekerjasama secara terbuka. Dan yang utama, pembuktian hasil, mana yang lebih menguntungkan apakah dengan dijual sewaktu padi masih berdiri atau dipanen dulu lalu ditimbang?
“Diyakini pada suatu saat nanti tentu akan bisa diubah yakni dengan terus mencoba pola tersebut,” jelas Nyoman Rajin, ketua Unit Prasarana dan Sarana Subak Margaya, Denpasar Barat. (cuk)