Lika-liku, penuh kenangan. Kesedihan berubah menjadi kebanggaan adalah kemungkinan yang ditasbihkan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Itulah perjuangan yang sedang diyakini oleh kelompok ODHA saat ini. Penuh harapan dan selalu ingin mengubah keadaan yang membanggakan.
Seperti yang dialami AR (maaf, namanya Galang Kangin rahasiakan), pria yang kini melewati usia 30 tahun. Hampir enam tahun lebih ia berjuang untuk diakui kembali di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Apa yang dialaminya bermula dari kebiasaan mengkonsumsi obat terlarang, hingga mengantarnya menjadi ODHA, sudah tak lagi ditempatkannya sebagai penyesalan. AR yang ditemui 25 Oktober lalu menuturkan, berjalan lurus, menatap ke depan adalah kunci hidupnya kini.
Pada tahun 2002, ia selalu menjadi sosok yang “tersingkir” di lingkungan keluarga dan masyarakat dimana ia tinggal. Ia selalu berusaha tabah. Kenyataan itu menjadikannya untuk tetap mencari jalan keluar. “Kalau saya makan atau minum, keluarga saya selalu membuang peralatan makan minum itu. Saya menjadi sedih saat itu. Hampir tak memiliki siapa-siapa lagi karena kamar saya juga dipisahkan dari rumah orangtua saya dan saudara saya,” kenangnya.
Situasi itu tak menjadikannya seperti manusia yang “termehek-mehek”, cengeng ataupun putus asa. Menurutnya, ia berkeyakinan untuk selalu berguna bagi dirinya sendiri, keluarga dan orang lain. “Itu adalah motivasi saya. Kalau saya tidak memiliki bekal ilmu, atau pengetahuan, saya tidak mungkin bisa menjelaskan kepada orang lain tentang apa itu AIDS secara jelas,” ucap AR.
Ya, memang benar, saat ini ia bangga karena banyak sekali ilmu yang didapat setelah aktif di salah satu yayasan yang memiliki fokus kerja pendampingan pada ODHA. Ia termasuk salah satu orang yang didampingi untuk dikuatkan kapasitas pengetahuan dan skil komunikasi ataupun pergaulan. Kepercayaan diri semakin tumbuh hingga mengantarnya menjadi salah satu fasilitator Kelompok Dampingan Sebaya (KDS), salah satu kelompok yang dikembangkan oleh Yayasan Spirit Paramacitta.
Saat bercerita tentang tips mengelola komunikasi dengan keluarga, AR mengisahkan banyak hal saat berjuang mendapatkan pengakuan. Kepada keluarga, ia rajin memberikan lembar informasi tentang perihal AIDS. Tak lupa, ia juga rajin untuk berusaha berbagi pendapat dengan orangtua atau saudaranya walaupun saat itu masih belum bisa mengerti tentang kondisinya.
Cara unik lainnya, ia selalu aktif mengkliping berita yang menggembirakan bagi ODHA. Kemudian, informasi dari kliping media koran ataupun majalah ia sampaikan kepada orangtuanya. Terus-menerus dan dengan sabar ia lakukan. Misalkan, di internet, kata AR, ada judul berita atau informasi “penderita HIV sembuh, 3 orang dengan operasi sum-sum tulang belakang,”. Berita itu ia sampaikan ke adiknya melalui surat email atau facebook. “Atau misalkan, ada berita bayi yang lahir dengan kondisi negatif dari HIV dari orangtua yang ODHA, saya kirimkan berita-berita klipingan itu ke orangtua saya,” katanya.
Ia sadar, memang pada awalnya orangtuanya tidak memiliki harapan melihat dirinya. “Sudah, mati sajalah kamu,” ujar AR kembali mengenang ucapan orangtuanya.
Tetapi, keyakinan membuat strategi advokasi keluarga memang harus begitu. Haruslah memperbanyak opini positif dan dengan contoh-contoh nyata. Yang kemudian mengantarnya kembali kepada ayahnya. Hingga pada saat itu, ayah saya bertanya, “terus status HIV kamu itu bagaimana?”. Nah, dari pertanyaan itulah ia membayangkan bahwa ada sedikit ruang yang menganga untuk masuk kembali menjalin komunikasi dengan ayahnya.
Saya jawab, ”sudah pulih pak,” jawab AR. “Pulih itu yang bagaiamana?” kembali orangtuanya bertanya, AR menjawab, “pulih tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, karena saya sudah konsumsi obat ARV.”
Ia menjelaskan kepada ayahnya bahwa obat ARV (antiretroviral) yang bisa menolongnya masih hidup hingga sekarang. Disambut lagi dengan pertanyaan, “dimana belinya, mahal atau tidak di apotik?” Dan banyak hal lagi yang akhirnya menghangat lagi hubungan anak dengan orangtua. Itulah kenangan AR saat momen yang membanggakan bagi dirinya.
Situasi itu, memang yang paling ditunggu oleh AR. Ada ruang yang terbuka menjalin komunikasi agar ada dukungan dari keluarga secara langsung. Bahkan, kata AR, setelah komunikasi menghangat, dirinya pernah mengalami kejadian pada saat kecelakaan lalu-lintas yang dialaminya. Jatuh dan tak berdaya dengan darah yang mengucur di kepalanya. Tetapi, yang membuat dia berkesan adalah, ayahnya sendiri yang membopong tubuhnya dengan kepala penuh darah menuju rumah sakit. “Saya tidak bisa membayangkan, betapa ayah saya memberanikan diri memegang kepala saya yang penuh darah tanpa jijik ataupun berpikir panjang seperti sebelumnya. Artinya, ayah saya sudah tercerahkan dengan berbagai informasi tentang AIDS, dengan informasi utuh tentang bagaimana penularannya,” kenang AR yang bercerita dengan bangga itu. (beng)
EMPATI AYAHNYA, MEMBANGKITKANNYA
KECELAKAAN itu seperti titik balik. Begitu melihat empati ayah, saya terus mendekat dan kerap berkomunikasi dengan orangtua. Sering kali ayah mengingatkan tentang obat saya. Bertanya tentang apakah obat itu masih ada, sudah habis bahkan pertanyaan tentang kapan saya bisa menikah.
Saya senang dengan situasi itu, membuat saya bangkit kembali dan saya beranikan untuk menikah dengan calon istri saya. Karena pengetahuan tentang pengamanan dan pencegahan sudah mendarah daging di pikiran saya. Begitu juga kepercayaan ayah saya yang begitu luar biasa.
Membalikkan opini negatif memang tantangan. Begitu juga dengan hal kebugaran dan kesehatan, saya termasuk orang yang energik (bertubuh altletis). Ia memang merasa cukup terganggu dengan anggapan banyak orang bahwa ODHA adalah orang yang sakit.
Upaya menepis anggapan itu melecut semangat saya untuk melawannya. Saya itu heran, entah apakah masyarakat kebanyakan yang tidak tahu atau mungkin media informasi yang kurang tentang AIDS. Saya saat ini memang sedang mempersiapkan sebuah even sepak bola futsal yang sedang saya gandrungi bersama beberapa kelompok ODHA yang lain. Bulu tangkis juga menjadi hobi saya yang kesekian dari banyaknya keahlian olahraga yang saya sukai.
Bukan hanya masyarakat biasa yang tidak tahu utuh perihal AIDS. Hampir beberapa kali saya ditolak oleh dokter saat memeriksakan kesehatan. Itu sekelas dokter loh.., yang katanya tahu banyak tentang virus atau penyakit. Tetapi ternyata belum tentu paham juga tentang AIDS. Kalau ada dokter yang seperti itu, saya pasti langsung kejar argumentasinya dan saya berondong dengan banyak pertanyaan. Ya kita harus kritis dong ketika posisi mendapati diskriminasi. Kita warga negara sah, dan dokter juga pelayan kesehatan.
Saya sempat sedikit tertawa nyinyir di dalam hati. Pasalnya, saat audiensi kepada wakil rakyat di gedung DPRD, saya mengingat ada pembahasan penting tentang HIV/AIDS di Bali. Begitu banyak suara yang seolah-olah memihak kepada kelompok ODHA di gedung itu. Tetapi apa, saya saat itu melakukan testimoni setelah para wakil rakyat berbicara. Saya menyatakan jelas di gedung itu tentang keberadaan dan posisinya sebagai ODHA. Ternyata, di akhir acara itu, para anggota legislatif pun tak ada yang bersalaman dengan saya. Ya, saya menyadari, memang pengetahuan wakil rakyat memang hanya segitu tentang kondisi kami.
Keberpihakannya hanya macan kertas, tapi belum tahu betul tentang isi yang sebenarnya.
Memang benar, apapun itu, yang bisa menyuarakan lantang dan berdaya adalah ODHA sendiri. Tak bisa dipungkiri, bahwa kelompok ODHA memang membutuhkan uluran tangan berbagai pihak. Tetapi, tak bisa lagi untuk bergantung kepada orang lain. Yang bisa menyembuhkan ODHA adalah ODHA sendiri. Maka, kolaborasi dan saling belajar dan saling ODHA adalah kata kunci penting. ODHA tak harus lagi diposisikan sebagai orang yang “meminta-minta” dan berharap uluran tangan. (beng)