Anda dari Bali? Orang Bali??? Woooww……it’s nice. Bisa menari? Selalu respon kagum dan excited yang saya dapatkan tiap kali saya memperkenalkan diri sebagai orang Bali, baik dengan rekan sesama orang Indonesia maupun manca negara. Bali memang, mau tak mau, masih menjadi ikon pariwisata Indonesia hingga sekarang. Tak dapat dipungkiri Bali memang sudah telanjur lebih dikenal masyarakat internasional. Bali masih menjadi tujuan impian wisatawan lokal maupun asing. Bali memang unik, ya alamnya, ya budayanya, ya karakter orangnya, pun dialek bahasanya yang khas. Maka tak salah bila di manca negara, buku-buku tentang kebudayaan dan kehidupan sehari-hari orang Bali, banyak diterbitkan.
Hingga sekarang, Bali masih menjadi pilihan bagi diadakannya berbagai pertemuan internasional. Seminar-seminar ilmiah pun, begitu diadakan di Bali, pesertanya akan sangat membludak. Ada begitu banyak kesepakatan dunia yang ditandatangani di Bali. Sesungguhnya, Bali tidak hanya tempat pariwisata, tapi juga tempat bersejarah bagi dunia. Hanya saja kita enggan, atau tidak peduli, untuk mencatat dan membanggakannya.
Dengan begitu tersohornya pulau Bali, pernahkah kita, orang Bali, berusaha menata agar apa yang menjadi keunikan kita tetap terjaga untuk kebudayaan Bali sendiri. Pernahkah kita, orang Bali, merasakan bahwa keunikan budaya inilah yang menyebabkan wisatawan selalu ingin datang ke Bali dan berusaha memasarkannya dengan cara yang lebih up to date. Pernah pulakah kita, orang Bali, berpikir seberapa banyak masyarakat Bali yang turut menikmati pesatnya kemajuan pariwisata Bali.
Seharusnya, dengan begitu pesatnya perkembangan pariwisata di Bali, masyarakat Bali dapat memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata. Ada banyak hal yang dapat dilakukan, mulai dari perencanaan, pengembangan, pengawasan, dan pengevaluasian program pengembangan pariwisata. Tapi kenyataannya, keterlibatan masyarakat Bali yang paling menonjol hanya dalam pengembangan sarana utama pariwisata seperti akomodasi penginapan dan restoran, sarana penunjang pariwisata seperti art shop, tempat penukaran uang, dan toko oleh-oleh. Sedangkan peran yang lainnya masih sangat kecil. Itupun kebanyakan pengusaha kelas menengah dan kecil. Pengusaha besarnya?? Waahhh…entah darimana saja.
Suatu hari di masa peak season, beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengantar keponakan berbelanja di Pasar Seni Kuta. Karena menawar diperkenankan, mulailah saya nego harga dalam bahasa bali. Dan saat di titik kritis, sang pegawai menyerah dengan minta saya ngomong langsung sama pemilik toko. Dengan pe-de saya langsung datangi si pemilik, masih dengan bahasa Bali…..tapi, ternyata saya salah strategi. Sang pemilik toko bukan orang Bali!! Dan itu saya alami di beberapa toko dengan berbagai macam komoditi yang berbeda. Ya ampuuunnn, ternyata yang orang Bali hanya para pegawainya. Sejak saat itu saya merasa mulai jadi wisatawan ketika berbelanja di Kuta. Bukan lagi ‘tuan rumah’.
Kali lain, saya berkesempatan mengobrol dengan tetangga yang seorang pramuwisata untuk wisatawan berbahasa mandarin, dan bukan orang Bali. Iseng saya bertanya, berapa banyak rekan seprofesinya yang orang Bali. Jawabannya singkat, hampir sama banyak dengan orang luar Bali. Saya hanya bisa tersenyum kecut. Ketika pramuwisata, yang harus memperkenalkan tentang Bali, hanya sebagian saja adalah orang Bali, tidakkah ini menjadi pertanyaan besar? Apakah mereka dapat menjiwai apa yang mereka sampaikan? Apakah nantinya para wisatawan tidak mendapatkan persepsi yang salah tentang budaya Bali? Apakah suatu budaya masyarakat dapat dipelajari hanya dari buku panduan pariwisata? Lalu akan ke arah mana bergulirnya pundi-pundi hasil industri pariwisata di Bali? Para wisatawan tersebut, berkeliling Bali, menikmati alam dan suasana Bali, menghabiskan uangnya di Bali, tapi siapa penikmat terbesarnya? Begitu banyak pertanyaan bergumul di pikiran saya.
Saat ini, hingga 2 bulan ke depan, saya berkesempatan belajar di Groningen, Belanda. Groningen hanya kota kecil, bukan kota wisata, hanya sebuah kota pelajar di ujung utara Belanda. Satu hal yang saya salut adalah, tiap orang di sini, saat akhir minggu, selalu menganjurkan untuk melihat tempat-tempat wisata yang ada di kota-kota lain di Belanda. Dan mereka dengan fasih bercerita apa saja yang bisa saya nikmati di sana, bagaimana cara saya bisa sampai ke tempat tujuan, dan berapa banyak uang yang kira-kira perlu saya siapkan, di luar budget oleh-oleh tentunya. Walaupun saya tahu, semua info tersebut tersedia secara rinci pada website wisata Belanda. Tapi nafas yang saya rasakan, setiap orang di sini sangat mencintai negerinya dan ingin orang lain menikmati hidup di negara mereka. Ini sungguh mencengangkan dan menyadarkan saya.
Sesungguhnya tanpa menjadi pramuwisata, seluruh orang Bali di semua sektor, dapat menjadi pewarta, pelaku dan penikmat hasil pariwisata Bali. Tetapi, dengan karakter orang Bali yang kebanyakan tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain, saya khawatir belum banyak orang Bali yang menyadari, kita mulai tergusur dari hingar-bingar industri pariwisata Bali. Kita hanya orang-orang yang berbangga hati menjadi orang Bali, yang dikenal di berbagai penjuru dunia, tapi sesungguhnya belum punya kesadaran untuk membesarkannya.
(Groningen, Oktober 2011)