Data statistik Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia
menunjukkan secara komulatif kasus ini per 1 April 1987 hingga 30 Juni 2012 memiliki total jumlah yang terinfeksi di Indonesia sebanyak 86.762 orang. Sedangkan yang sudah dalam tahapan AIDS di Indonesia, data tersebut menunjukkan angka 32.103 orang. Dan jumlah kematian dari kasus ini selama kurun waktu yang disampaikan sebelumnya menunjukkan angka 5.623 orang.
Dari jumlah komulatif tersebut, posisi Provinsi Bali barada di urutan ke-5 dari 33 Provinsi di Indonesia. Sedangkan jika diukur dari prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk, data tersebut menujukkan Bali berada di posisi ke-2 setelah Provinsi Papua.
Tetapi, data dan angka hanya sekadar informasi. Tergantung untuk dimaknai baik atau malahan ingin “merusak” dari sebuah sajian data. Jika data dan angka untuk dipelajari dan dimaknai untuk perbaikan dan membangun lebih konstruktif, mungkin akan lain pula maknanya. Akan indah dan selalu menemukan solusi terbaik dengan upaya pencegahan dan pengendalian yang bisa melibatkan banyak pihak.
Seperti dituturkan Kordinator Pokja Pencegahan, Advokasi, dan Humas Komisi Penanggulang AIDS (KPA Provinsi Bali), I Nyoman Mangku Karmaya, saat ini pelayanan untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) sudah mulai membaik di Bali. Karmaya tentu saja melakukan pembandingan dengan masa sebelumnya antara tahun 80-an atau awal 90-an. Sebelumnya, menurut dia banyak sekali ODHA yang diperlakukan diskriminasi oleh layanan kesehatan. Misalkan, kata Karmaya, pada zaman itu ODHA yang mengalami patah tulang, hanya disarankan memakai gips tanpa direkomendasi untuk dilakukan operasi. Atau bahkan ODHA yang mengalami kesakitan pada gigi, dokter gigi saat itu agak susah melayaninya.
Tentu perbaikan manajemen layanan inilah yang bisa menjadi salah satu daya ungkit penurunan angka AIDS di Bali. Dengan prinsip pelayanan kesehatan yang berbasis kewaspadaan umum, tentunya semua pelayan kesehatan juga memiliki rasa nyaman dan aman dalam melayani ODHA di Bali. Dikatakan Karmaya, saat ini jumlah fasilitas layanan Voluntary Counselling and Testing (VCT) di Bali sudah lumayan banyak. Jumlahnya hampir ada 10 unit lebih. Kecuali di Jembrana dan Bangli yang masih dalam proses. Dan layanan konselor akan diperbanyak lagi oleh KPA.
Tak hanya itu. Karmaya berpesan, sebaiknya setiap unit layanan kesehatan tidak diperbolehkan melakukan upaya diskriminasi kepada ODHA mulai sekarang hingga kedepan. Sedangkan untuk manajemen layanan lainnya, saat ini obat ARV sudah bisa didapatkan secara gratis di unit layanan AIDS yang ada di rumah sakit umum daerah di Bali.
Pemahaman Meningkat
Sedangkan untuk pemahaman masyarakat, lanjut Karmaya, boleh jadi memang semakin meningkat, dengan makin banyaknya informasi tentang AIDS di media. Masyarakat sudah mulai menyerapnya, meski prosesnya agak lambat. Tetapi, sayangnya, katanya, antara pengetahuan dan praktik masih tidak nyambung. Misalkan masyarakat saat ini banyak tahu tentang risiko penularan dalam hubungan seks dan pencegahannya dengan kondom, tetapi ternyata masih diabaikan hingga sekarang. Khususnya bagi para “pelanggan” seks komersial. Dari laporan yang dihimpun oleh KPA, kelompok “pelanggan” masih belum mau memakai alat pengaman atau kontrasepsi seperti kondom.
Untuk upaya kepada masyarakat, saat ini, KPA Provinsi Bali juga menggerakkan Kader Desa Peduli AIDS. Program ini memiliki kekuatan untuk melatih orang-orang terpilih di desa untuk upaya pencegahan dengan berbagai penyuluhan. Kader Desa Peduli AIDS, tentu saja dilatih tentang banyak hal perihal AIDS agar masyarakat tidak lagi merasa takut dan bisa melakukan pencegahan jika sudah mengetahui secara utuh tentang AIDS. Semacam peer group yang dikendalikan programnya oleh KPA, sebagai pilot project KPA akan memilih wilayah Kabupaten Badung untuk percontohan awal.
Tak hanya KPA, banyak lembaga lain yang sedang fokus dengan persoalan AIDS ini. Seperti Yayasan Spirit Paramacitta, yang sudah bertahun-tahun melakukan hal yang sama. Alasannya, AIDS tidak bisa dikendalikan sendirian oleh KPA.
Ketua Yayasan tersebut, Putu Ayu Utami Dewi menuturkan bahwa semua masyarakat bisa jadi memiliki risiko dengan AIDS ini, karena penularannya bisa melalui hubungan seks atau jarum suntik. Dan awalnya stigma yang terjadi adalah “menuduh” kelompok homoseksual, pekerja seks yang meyebabkannya. Padahal dari mempelajari hidup manusia, sebetulnya stigma kepada mereka tidak harus terjadi lagi.
“Kasus yang mulai muncul, bukannya saya menakut-nakuti, tetapi lebih pada pendidikan publik saja. Ternyata saat ini banyak kasus yang muncul perihal ODHA malahan dialami oleh anak-anak dan ibu rumah tangga,” kata Putu Ayu.
Artinya, jika masyarakat disibukkan dengan berbagai stigma tanpa berpikir untuk mencegah diri dan keluarga, kasus ini akan terus berjalan. Strategi yang penting adalah, masyarakat harusnya tidak takut lagi bertemu dengan ODHA atau yang terinfeksi dan melakukan belajar bersama untuk pencegahannya dengan mereka yang terinfeksi. Karena belajar dari pengalaman mungkin akan lebih mendewasakan masyarakat dari pada sibuk dengan rasa was-was dan cemas, yang pastinya tidak akan pernah ada model belajar pencegahan yang baik.
Saat ini, Yayasan Spirit Paramacitta, kata Putu Ayu, sedang mengembangkan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Kelompk ini semacam group teraphy jika meminjam istilah psikolog, yang fungsinya adalah belajar mengembangkan kekuatan diri dengan berbagai pengalaman di antara yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi. “Kami sudah mengembangkan sejumlah 8 KDS di seluruh Kabupaten di Bali,” ujarnya.
Saat ini, bahkan kelompok KDS ini sudah melakukan kemajuannya dengan memiliki program usaha bersama secara peningkatan ekonomi. Misalnya di Singaraja, kelompok KDS sudah memiliki perusahaan pupuk organik skala kecil menengah yang pasarnya sudah ada di Bali. Saat ini kelompok ini sudah memproduksi sekitar 1 ton pupuk yang siap dipasarkan di Bali. Tentu dengan program ini, kelompok KDS tidak semata-mata hanya berpikir tentang kecemasan atas kematian, tetapi sudah mulai mengembangkan diri untuk masa depan keluarganya dengan kegiatan ekonomi yang kreatif itu. (beng)