Hari AIDS Sedunia (HAS 2012) tengah melansir isu besar yang menjadi fokus utama dewasa ini -- perempuan dan anak. Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar, Tri Indarti, tema HAS tersebut sangat beralasan. “Data dari nasional hingga daerah, semua mendapati bahwa kasus HIV/AIDS pada perempuan itu didominasi oleh ibu rumah tangga,” ujarnya.
Pernyataan ini tentu saja cukup mencengangkan publik. Hingga kemudian ibu rumah tangga harus menjadi bagian penting dari pekerjaan pengendalian HIV/AIDS. Bisa jadi harus ditanggapi positif, karena kembali merunut dari pernyataan Indarti, bahwa ibu rumah tangga ternyata belum mengetahui banyak hal tentang upaya preventif dari HIV/AIDS yang membuatnya menjadi kelompok yang rentan di luar pekerja seks. Tentu apa yang disampaikan itu bukan memperbandingkan pekerja seks dengan ibu rumah tangga, tetapi secara positif dan objektif, bahwa memang benar kelompok perempuan bisa jadi menjadi berisiko tinggi jika tidak mengetahui banya hal tentang HIV/AIDS.
“Semua itu kan ditularkan lebih banyak dari hubungan seksual. Maka, sangat penting perempuan mengetahui perihal penularan seperti apa, agar bisa menjaga diri dan pasangannya,” tandasnya.
Pengetahuan perempuan, lanjut Indarti, jika tidak utuh mengenal dan mengetahui tentang sebab-musabab penularan, bisa jadi akan menularkan kepada anaknya. Dan bisa jadi, kalau anaknya sudah terinveksi, maka penanganannya harus optimal dan lebih dari orang dewasa.
Penanggulangan di Denpasar
Kota Denpasar sebagai jantung dari Pulau Dewata, sedang mencari penyebab masalah dari penularan infeksi kepada kelompok ibu. Menurut zero survey yang dilakukan oleh KPA Denpasar, diketahui infeksi kepada ibu hamil sekitar 0,5%. Menurut Indarti, dari 400 sampel darah yang diambil dari unit layanan kesehatan di Denpasar, terdapat 2 sampel darah yang positif HIV. Untuk diketahui, bahwa zero survey ini adalah aktivitas pengambilan darah yang tujuannya untuk melihat prevalensi atau angka saja. Bukan untuk melihat dan men-justifikasi seseorang tengah terinfeksi atau tidak. Survei itu dilakukan di tempat-tempat pekerja seks, rumah sakit, atau fasilitas kesehatan lainnya.
Artinya, tentu saja KPA Denpasar belum bisa melacak, darah siapa dan bagaimana penularannya, karena harus mempelajari pergerakan dari ibu itu. Dan belum tentu pula, sampel darah yang ditemukan, berdomisili di Denpasar. Atau mungkin Denpasar hanya menjadi tempat singgah sementara, sekadar untuk berobat. Pasalnya, Denpasar yang bisa disebut sebagai jantungnya Provinsi Bali ini, memiliki banyak fasilitas layanan kesehatan yang dimanfaatkan oleh masyarakat seluruh Bali.
Upaya yang dilakukan KPA Denpasar adalah bagaimana pemeriksaan ibu hamil bisa disarankan mengunjungi klinik Voluntary Councelling and Testing (VCT). Tentu semua tergantung kerelaan dari seorang ibu hamil yang diharapkan juga terlibat untuk membuat upaya preventif bagi penanggulangan HIV/AIDS. Dan, fungsi klinik ini bukan untuk membuat adjusment tentang penyakit, melainkan sebagai langkah awal sebagai bahan analisis penyabab masalah, jika memang ditemukan virus HIV. Klinik ini tentu saja tidak akan membuat aktivitas publish kepada seseorang, karena di dalamnya dilengkapi aturan main dan tenaga relawan yang terlatih.
Sementara di Denpasar, kata Indarti, layanan VCT ini menjangkau di level Puskesmas hanya ada 4 unit VCT -- Puskesmas II Denpasar Selatan, Puskesmas II Denpasar Utara, Puskesmas II Denpasar Barat, dan Puskesmas I Denpasar Timur. Untuk Puskesmas yang disebut terakhir belum maksimal dikarenakan masih menjalani renovasi. “Kalau rumah sakit swasta dan RS daerah yang lain sudah ada unit layanan ini,” katanya.
Saling Menjaga
Tak hanya itu, ternyata KPA Denpasar melakukan penanggulangan dengan semua lini. Keterlibatan masyarakat pun ternyata menjadi kekuatan utamanya. Sejak tahun 2008, KPA Denpasar melatih sekitar 645 orang Kader Desa Peduli AIDS. Kader tersebut tersebar di 43 desa di Denpasar yang jumlahnya di setiap desa ada sekitar 15 orang. Peran dari kader-kader ini cukup signifikan dalam upaya penurunan kasus HIV/AIDS. Keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh kunci yang ada di desa secara aktif, juga diharapkan di dalamnya.
Cukup mudah dan sederhana tugas mereka. Paling tidak, bisa menumbuhkan rasa kerelawanan dalam membuat perubahan persepsi bagi semua pihak. Sosialisasi, penyuluhan dan pendekatan kepada kelompok rentan adalah tugas mereka di desa. Merekalah yang mengetahui langsung dari seluk-beluk perilaku masyarakat. Dan tentu saja, kondisi masyarakat yang riil dari upaya penanggulangan HIV/AIDS selalu mereka kerjakan.
Membagikan kondom adalah salahsatu contoh. Ini tak sekadar membagikan bagi mereka, karena cara yang mudah dan efektif adalah pemakaian kondom yang tak hanya menjadi alat kontrasepsi biasa. Para kader ini gencar membuat kampanye penggunaan kondom, karena memang dirasa perilaku seksual masyarakat sangat dinamis. Dan hanyalah kondom yang bisa menemani para pasangan untuk saling menjaga.
Perjuangan mereka bersama KPA memang selalu mendapati nilai yang berbeda. Banyak sekali masyarakat yang masih menempatkan posisi tabu terhadap kampanye penggunaan kondom. Kata Indarti, itu bisa saja terjadi karena memang pengaruh media yang begitu gencar membangun persepsi tentang kondom. “Kenapa selalu iklan kondom di televisi identik sekali dengan perempuan binal. Jadinya masyarakat kena pengaruh,” protes Indarti. (beng)