Sambil menikmati segelas kopi panas dan sepiring pisang goreng yang masih berasap, Pekak Putu asyik berandai-andai di bale bengong. Andai saja semua orang pintar di negeri ini, mau jujur berbagi ilmu dan bukannya memperbodoh masyarakat awam. Andai saja setiap kelompok profesi bersikap professional. Andai saja para pejabat pemerintah tidak sibuk mengamankan jabatannya dan mau menengok keluar jendela mobil dinasnya. Andai saja….ya andai saja setiap program baik pemerintah, dilaksanakan dengan niat baik tanpa dipolitisir. Akankah negeri ini benar-benar menjadi negeri yang “gemah ripah loh jinawi”?
Masih berkutat di seputaran KUR. Artinya tidak lepas dari lingkaran UKM, perusahaan “versi rakyat menengah ke bawah”. Perusahaan yang sangat memerlukan suntikan dana untuk bisa berkembang lebih maju. Perusahaan yang sebenarnya mampu meringankan beban pemerintah karena menyediakan peluang kerja.
Sudah tandas 3 potong pisang goreng, Pekak Putu masih ‘setengah membumi’, ketika Bli Nyoman Coblong tiba-tiba sudah mengunyah sepotong pisang goreng dan duduk di sebelahnya. “Pekak, masih pagi…..udah melamun aja,” kata Bli Nyoman Coblong sambil mencomot satu pisang goreng lagi. “Yeee…Nyoman jeg sube nyemak godoh dogen. Mecapatan anake malu,” Pekak Putu setengah menggerutu, tercerabut dari lamunan setengah dewanya.
“Nak nu berpikir soal KUR ne. Kalau sebegitu ‘njelimet’ persyaratan administrasinya. Harus akuntabel pula. Apa bisa ya para pemilik UKM itu menggaji akuntan publik?” “Akuntan publik bukannya cuma ngurusin pajaknya perusahaan gede aja, Pekak?”
“Nah, justru kesan itu yang kuat di masyarakat. Mare ningeh akuntabel gen, UKM be angkih-angkih mikirang harus nyewa akuntan. Akuntan publik itu kan profesi, seperti dokter, apoteker, dan pengacara. Harusnya ya bisa mengedepankan profesionalisme dibandingkan pendapatan. Sing keto asane?”
Bli Nyoman Coblong manggut-manggut sambil mengelus dagu. “Seharusnya ya begitu, Pekak. Untuk pengusaha kelas UKM, ya… disediakan layanan gratis konsultasi keuangan dan sejenis itulah ya? Jadi semuanya bisa berjalan selaras.”
“Tapi kalau kita mau jujur, banyak juga perusahaan besar yang manajemen keuangannya tambal-sulam, karena merasa itu miliknya pribadi. Semaunya sendiri mengelola uang perusahaan, apalagi kalau kekayaannya itu ‘congenital’, bawaan dari lahir,” Pekak Putu menggumam pelan.
“Kalau perusahaan seperti itu, apa bisa disebut akuntabel ya? Tapi kenapa bank rela segera mengucurkan dana ber-MM (baca : miliar-miliar) untuk yang model begitu? Tapi kalau dana KUR yang besarnya tidak ‘seberapa’, kenapa jadi terlalu banyak persyaratan?” Pekak Putu menghela nafas dalam.
Bli Nyoman Coblong sekali lagi cuma manggut-manggut sambil mengelus dagu. “Kalau dipikir-pikir, Pekak, sebenarnya siapa yang mengatur siapa ya? Pemerintah seperti tidak percaya pada rakyatnya sendiri. Atau para pejabat di atas sana, sudah terlalu jauh di atas, sehingga walaupun menengok ke bawah, keadaan masyarakat yang asli, tetap tak terlihat,” Pekak Putu nyengir sambil menyahut ringan, ”Makanya kalaupun ada di langit, jangan lupa menjejakkan kaki di bumi. Sekarang aku tahu nikmatnya menjejak bumi.”
Bli Nyoman Coblong segera menoleh tak mengerti. “Maksud Pekak??”
“Ya…dari tadi aku melamun sambil duduk bersila dan menatap langit. Kakiku terasa kaku. Dan ketika aku selonjorkan kakiku, dan menapakkannya di lantai, aku merasa nyaman,” Pekak Putu tersenyum pada Bli Nyoman Coblong dengan wajah lega. “Masih ga ngerti juga?”
Bli Nyoman Coblong menggeleng. “Menurutku, pemerintah harusnya membuat program yang tidak hanya angan-angan dan hitungan di atas kertas, tapi perlu dipikirkan reliabilitas dan feasibilitasnya untuk bisa diaplikasikan dengan mudah. Keto Nyoman…”
Bli Nyoman Coblong kembali manggut-manggut. Kali ini tidak mengelus dagu, tapi mengusap muka. Berusaha tidak memandang ke langit terlalu tinggi dan menikmati nyamannya menapakkan kaki di bumi. Akuntan publik diperlukan, tapi yang berpihak pada pengusaha kalangan menengah ke bawah. Begitu mungkin yang lebih adil untuk mewujudkan negara yang gemah ripah loh jinawi.