Pergantian tahun atau yang lazim disebut tahun baru, bagi tiap daerah dirayakan dan dimaknai dengan tradisi sendiri. Pun masyarakat Bali demikian adanya, ketika Tahun Baru Caka, datang. Tiap daerah memiliki tradisi berbeda secara ritual maupun spiritualnya.
Ida Pedanda Gede Telaga, salah seorang tokoh sulinggih dari Griya Gede Telaga Sanur, menjelaskan banyak hal tentang hal ini. Saat ditemui Tabloid Galang Kangin, Ida Pedanda Gede Telaga bercerita antara lain tentang beberapa pergeseran sosial yang terjadi kini dibandingkan pada masa mudanya (walaka).
Ida Pedanda Gede Telaga yang kini berusia 74 tahun mengungkapkan, masyarakat Hindu Bali selalu memberikan sesuatu yang lebih, pada momentum Tahun Baru Caka (sekitar Bulan Maret) di saat Nyepi. Perbedaan spirit nampak sekali jika kita melihat secara kasat mata. Hal ini tentu saja dikarenakan Tahun Baru Caka, adalah bagian dari ritual keagamaan yang sudah menjadi kebudayaan masyarakat Bali sendiri.
“Tahun Baru Caka bagi masyarakat Denpasar selalu ditandai dengan mengadakan pecaruan di perempatan agung tepatnya di Catur Muka dekat Lapangan Puputan. Itu adalah pertanda bahwa Tahun Caka akan berganti,” kata Pedanda yang pernah mengenyam ilmu akuntansi di perkuliahannya.
Hal yang sama dari Tahun Masehi adalah sama-sama memiliki sifat maju dalam hitungan tahun, dan sifat kebaruannya. Jika di Tahun Masehi hitungannya 2012, Tahun Caka kini berangka 1934. “Jadi Masehi lebih tua dari Tahun Caka dengan selisih 78 tahun,” ungkap Ida Pedanda.
Pertanda Tahun
Ada pertanda lain perbedaan antara Tahun Baru Caka dan Masehi. Pertanda dari Tahun Baru Caka selalu bersifat nyepi atau petileman menjelang pergantian tahunnya . Dan tentu saja itu menjadi tradisi masyarakat Hindu di Bali. “Dari kesanga menjadi kedasa kalau di dalam Tahun Baru Caka, ini perbedaannya lagi,” katanya.
Saat menghadapi pergantian Tahun Masehi, masyarakat di Bali juga secara umum merayakan, tetapi tentu saja tidak melakukan ritual khusus keagamaan. Dalam pergantian Tahun Masehi, orang Bali seperti masyarakat pada umumnya, merayakan dengan kemeriahan tanpa nyepi seperti di Tahun Baru Caka. Pada momentum pergantian Tahun Masehi, lebih banyak anak muda yang memainkan peran dengan berbagai even tanpa upacara dan ritual khusus.
Sama-sama memberikan makna tahun yang baru atau pergantian tahun, tetapi berbeda falsafahnya. Begitu kira-kira yang sedang disampaikan oleh tokoh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI Denpasar) ini. Tetapi apapun tahun barunya, secara universal pasti menyimpan nilai tersendiri. Yang secara umum, saat berganti tahun adalah penanda untuk menyongsong langkah berikutnya dengan menoreh kembali dari apa yang sudah dilakukan pada tahun sebelumnya. “Sama-sama memiliki nilai tanpa membedakan satu sama lain,” ujarnya.
Introspeksi diri adalah bagian penting dari kata kunci yang mengandung pesan, begitu pandangan sang Sulinggih ini. Perbuatan apapun atau masalah apapun yang pernah dilalui sebelumnya, misalnya perekonomian, kata Sulinggih, adalah bagaimana setiap orang bisa menata kembali kehidupan perekonomian mereka. “Yang jatuh bisa merefleksikan kembali dan membangun strateginya bagaimana bangkit dan mengejar kembali ketertinggalannya,” ujar Sulinggih. Tentu apapun itu, mengejar ketertinggalan atau bahkan menata kembali untuk kehidupan yang lebih baik, menjadi penting direnungkan dalam pergantian tahun yang baru ini. “Apapun tahun barunya, semuanya menjadi penting untuk hal penataan diri, penataan spiritual, atau penataan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya,” ujarnya.
Semuanya tentu tidak lepas dari nilai yang diyakini masyarakat Bali yang lazim disebut Tri Hita Karana itu. Hanya saja, memang di Tahun Baru Caka, umat Hindu Bali mengenal tentang yadnya untuk mengimplementasikan segala hal dari mulai sekala dan niskala saat merayakannya. Tetapi tentu saja agak berbeda dengan yang dilakukan saat tahun baru umum yang dikenal dengan Tahun Masehi ini. “Tidak banyak perbedaannya, cuma taksu yang membedakannya karena muatan spiritual keagamaan dan kebudayaannya,” imbuhnya. (beng)
MEMBANGUN NILAI POSITIF
ZAMAN dahulu, masyarakat Bali, entah itu di Tahun Baru Caka ataupun Tahun Masehi, selalu memiliki taksu sedemikian rupa untuk tetap membangun nilai positif. Ida Pedanda Gede Telaga mengenang kembali masa mudanya. Saat merayakan Tahun Baru Masehi sekalipun, di bale banjar para muda-mudi juga banyak yang membuat kegiatan positif semisal berkumpul bersama untuk melakukan kama (kesenangan). “Cuma, kama itu harus juga dikontrol dengan ajaran dharma. Dan yang bisa mengkontrol kama itu biasanya para tetua atau prajuru adat di tempat masing-masing. Setiap bale banjar selalu ada simakrama untuk membicarakan introspeksi. Tidak keluar dari kegiatan adat dan spiritual. Sekarang sudah bergeser,” ujarnya.
Zaman ini memang sudah betul-betul berbeda. Banyak dimensi yang melatari pergeseran ini. Misalnya dimensi alam yang membuat pemikiran manusia bisa berubah. Boleh jadi, kata Sulinggih, manusia tidak lagi memiliki kepercayaan diri, yang berakibat adanya kaliyuga atau pertentangan, sehingga duduk bersama untuk melakukan introspeksi bersama, hampir hilang.
Paling tidak, apa yang diuraikan oleh Ida Pedanda Gede Telaga adalah pesan penting dalam pergeseran saat ini. Menurutnya, semuanya berpulang pada moralitas dan pengetahuan tentang dharma yang mulai luntur. Tawuran dan saling bersaing dalam unjuk kekuatan sedang menggejala. Apalagi di momentum pergantian tahun, dinamika unjuk kekuatan dan meninggalkan hal penting tentang introspeksi pasti terjadi. (beng)