Perayaan penghujung tahun tentu sah-sah saja. Pesta dan perayaan kecil memang selalu terlihat berulang mewarnai tutup tahun dan menyambut datangnya tahun baru. Ada rona kemeriahan dan kegembiraan di setiap sudut kota dan di banjar-banjar.
Kewajaran berpesta diamini oleh seorang aktivis muda di Bali. Sebut saja Arya Komang Ganaris, Direktur Yayasan Manikaya Kauci (YMK). Menurutnya, kemeriahan di penghujung tahun memang menjadi hal yang wajar. Hematnya, kewajaran itu hendaknya bukan sekadar pesta, tetapi kegiatan yang bernilai positif. Tak sekadar bernuansa hura-hura.
Kata Ganaris, begitu aktivis Bali jebolan Universitas Warmadewa ini biasa disapa, kegiatan akhir tahun yang selalu diwarnai kemeriahan, cenderung melupakan segala hal yang terjadi di tahun sebelumnya. Itu sudah menjadi gejala yang umum dalam fenomena sosial. “Ini bukan hanya terjadi di Bali. Di semua tempat pasti selalu menggejala seperti itu. Dan setelah pesta selalu ada korban ataupun distorsi keamanan atau kejadian apapun,” kata Ganaris.
Apa yang ditandaskan oleh Ganaris seperti mengandung pesan tersendiri. Tentu ia mengamati perilaku sosial masyarakat yang rutin merayakan tahun baru. Terkesan hingar-bingar dan selalu ada kegaduhan. Begitu pula pengamanan dari masyarakat sendiri yang cenderung berlebih.
Misalnya pembuatan posko pengamanan oleh berbagai ormas kepemudaan di Bali yang dinilai oleh Ganaris selalu marak di wilayah Denpasar dan sekitarnya. “Banyak masyarakat yang mendirikan posko, tetapi tidak mengetahui apa fungsinya. Hanya sekadar untuk menunjukkan aktivitas yang belum tentu nyambung dengan fungsi yang sebenarnnya. Dan itu banyak yang latah,” katanya.
Itu isyarat kita bersama. Apa yang dikatakan Ganaris tentu seperti yang kita amati pula. Kehadiran posko menjadi pertanyaan bersama. Apakah memang membantu dan berfungsi pada setiap malam pergantian tahun alias malam tahun baru. Karena, yang terjadi adalah fungsi posko yang terbangun di beberapa tempat hanyalah untuk aktivitas menggalang kemeriahan tanpa berfungsi sebagai pos pengelolaan keamanan. Walaupun memang tidak bisa dijadikan asumsi yang umum, tetapi paling tidak bisa didapati di beberapa tempat jika kita mengamati setiap malam tahun baru.
“Sebenarnya tugas mengelola keamanan itu adalah tugas dari negara dan itu adalah domain dari kepolisian. Untuk apa posko didirikan dan cenderung tidak efektif atau tidak didapati informasi utuh tentang tata kelola keamanan. Apalagi itu dikelola oleh banyak ormas pemuda di Bali yang malahan cenderung mendistorsi keamanan itu sendiri. Kalau sudah tugas polisi, ya sudah serahkan ke mereka,” ujarnya.
Tata Kelola Keamanan
Sebetulnya, apa yang dikatakan oleh Ganaris adalah sebuah kritik dari pola keamanan yang dibangun oleh kepolisian di Bali. Banyak kasus tawuran ataupun gesekan antarkelompok ormas boleh jadi tidak bisa dihindari di tengah hiruk-pikuk pesta menjelang pergantian tahun. Apalagi di setiap posko selalu menyuguhkan simbol-simbol eksistensi berbagai ormas kepemudaan yang riskan untuk berseteru.
“Polisi harus intens untuk mendeteksi secara dini jika ini terjadi. Karena polisi yang sudah tahu pasti dari pengalaman mereka, daerah mana yang berpotensi konflik dalam konteks ormas kepemudaan dengan berbagai simbolnya,” ungkapnya.
Menurut Ganaris, jika memang selalu rutin terjadi tawuran atau gesekan saat tahun baru, boleh jadi itu bagian dari pembiaran negara terhadap tata kelola keamanan. “Karena alat deteksi dan pengendali kemanan semuanya ada di kepolisian sebagai alat negara,” ujar Ganaris tegas.
Seruan Ganaris sebagai pegiat yayasan yang sudah 20 tahun lebih eksis di Bali ini, adalah bagian penting dalam menyikapi perilaku ormas kepemudaan di Bali yang makin marak dan tidak menunjukkan persatuan masyarakat Bali sendiri. Setiap momen apapun, selalu berpotensi konflik, tak terkecuali di momen pergantian tahun. (beng)
DIJAMIN NEGARA
AGAR tidak menjadi catatan buruk, apalagi Bali dipandang sebagai salah satu wilayah daya ungkit ekonomi di negeri ini, tentu keamanan dan kenyamanan orang untuk menikmati momen apapun di Bali haruslah dijamin oleh negara.
“Kenyamanan dan keamanan itu harus didesain secara strategis, bukan dibiarkan secara alamiah. Masyarakat Bali saya yakin memiliki desain sendiri untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Dan bukan selalu membangun posko dengan simbol-simbol ormas yang menjadi acuan untuk membuat kenyamanan dan keamanan. Siskamling ataupun budaya ngorta membicarakan perihal keamanan dan ketertiban di lingkungan adalah budaya di Bali yang sebenarnya untuk mendeteksi keamanan di lingkungan masing-masing,” beber Ganaris.
Apa yang diurai oleh Direktur Manikaya Kauci ini adalah bagian penting yang menjadi pesan tersendiri bagi kepolisian di Bali. Tentu semuanya tak sekadar pepesan kosong, karena Yayasan Manikaya Kauci memang bergelut dalam kajian dan riset tentang keamanan dan ketertiban masyarakat di Bali. Denpasar adalah bagian wilayah yang menjadi fokus garapannya, selain dua kabupaten lainnya. Efektifitas manajemen pengelolaan keamanan dan ketertiban, haruslah menjadikan peran serta masyarakat di dalamnya. Dan fungsi dalam deteksi dini dari gejala ketidakamanan ataupun ketidaknyamanan sosial, tentu tugas dan tanggung jawabnya ada pada kepolisian.
“Semua seharusnya ke sana. Hanya saja masyarakat bersifat membantu dan bukan menimbulkan distorsi keamanan dengan peran sertanya,” kata Ganaris. Seakan kembali lagi mempertanyakan, apakah posko kelompok ormas yang rutin didirikan pada malam tahun baru memang benar-benar menguatkan tata kelola keamanan ataukah sebaliknya? (beng)