Semarak Tahun Baru 2013 di Bali, tentu tak bisa dihindari. Berbagai niat dan ekspresi kegembiraan selalu mewarnai. Ada perbedaan tentunya dengan Tahun Baru Caka yang menjadi tradisi masyarakat Hindu Bali pada momen ini. Hampir seluruh kegembiraan yang rutin dalam pergantian tahun selalu ditandai dengan kemeriahan aroma petasan ataupun kembang api. Semuanya nampak meriah di penghujung tahun.
Ya, masyarakat di Bali yang selalu menyuguhkan kemeriahan itu, tentu tidak berdiri sendiri. Begitu kata Ketut Sumarta, Sekretaris Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali kepada Tabloid Galang Kangin. Bisa diartikan, memang benar masyarakat Bali mengenal dua pergantian tahun. Tahun baru Saka dan pengaruh Gregorian yaitu Tahun Baru masehi. Menjadi dua hal yang berbeda dalam memaknai dua pergantian tahun itu . Dan tidak bisa dipungkiri kemeriahan dalam pergantian tahun selalu menunjukkan glamour. “Ya ini Bali, sudah tentu seperti tempat lainnya. Bahkan boleh jadi lebih meriah dari tempat lain, karena masyarakat dunia ada di sini,” kata Sumarta.
Tidak bisa membayangkan Bali seperti zaman lampau. Karena, kata Sumarta, Bali dipengaruhi oleh kosmik atau lingkungan peradaban tersendiri di zaman ini. Semua komunitas sosial sudah pasti akan berkelompok membuat kemeriahan ala mereka sendiri. “Ini bukan perayaan adat, jadi memang bukan wilayah kami untuk mengelola dan mengendalikan sebuah perayaan masehi ini. Tetapi akan berbeda dengan Tahun Baru (Hari Raya) Caka yang memang menjadi domain kami para pemangku adat untuk mendesain seperti apa perayaan yang seharusnya dan sebaiknya,” kata Sumarta.
Ungkapan Sumarta ini adalah bagian penting dari pesan yang menegaskan perihal wilayah pembagian peran tersendiri untuk penanggulangan gejala sosial. Apalagi momentum pergantian tahun yang selalu bergelimang kegembiraan hingga terkesan tiada batas, jika merunut tahun sebelumnya. Kegiatan yang meluapkan kegembiraan selalu mewarnai dan ia menegaskan kembali, bahwa upaya pengendalian momentum Tahun Baru Masehi ini, ada pada negara.
“Saya harus tegas bahwa untuk domain kenyamanan dan keamanan maupun ketertiban dalam momentum ini adalah wilayah pemerintahan formal negara. Saya tak ingin amburadul dalam tata kelola keamanan ataupun ketertiban jika terjadi apa-apa pada momentum Tahun Baru Masehi ini akan dilimpahkan ke lembaga adat di setiap wilayah,” tandas Sumarta.
Menjelang pergantian tahun, memang seluruh perangkat pemerintah akan disibukkan dengan upaya pengendalian masyarakat pada saat merayakan tahun baru. Tak terkecuali pemerintah desa adat sekalipun. Paling tidak, pemerintahan dinas, begitu istilah pemerintah non adat, akan bekerja bersama aparat keamanan dalam upaya preventif keamanan dan kenyamanan dari menjelang pergantian tahun 2012 ke 2013.
Anjuran Sumarta, tentu saja mengandung ketegasan tersendiri. Bahwa prajuru adat tidak bisa menindak apapun jika memang terjadi gejala sosial atau kejadian yang negatif di malam tahun baru (Masehi). Termasuk pecalang yang ada di desa adat sekalipun ternyata kata Sumarta tidak berwenang untuk mengendalikan keamanan. “Tetapi mereka para prajuru adat atau keamanan desa adat boleh melakukan partisipasinya jika diminta oleh pemerintah negara atau aparat kepolisian untuk membantu. Tetapi sifatnya tidak aktif dan hanya sekadar membantu saja dalam partisipasinya. Jadi tidak bisa aparat keamanan desa adat menindak langsung dan sewenang-wenang. Jika melihat sesuatu gejala yang negatif, sebaiknya peran prajuru adat dan keamanan melaporkan kepada yang memiliki kewenangan,” sarannya.
Bukan berarti imbauan MUDP ini mengerdilkan peran prajuru adat dalam mengelola keamanan ataupun kenyamanan di malam tahun baru. Tetapi, bentuk partisipasi adalah bagian penting dari menjaga Bali itu sendiri. Dan paling tidak, upaya ini akan menjelaskan kepada publik luas dan aparat prajuru adat sendiri tentang kewenangan dari sebuah perayaan tahun baru yang tidak merupakan Tahun Baru Caka yang menjadi adat dan tradisi masyarakat Bali sendiri. Lain halnya jika Tahun Baru Nyepi yang memang mengharuskan peran lebih dari prajuru adat ini.
Batas Jelas Kewenangan
Dan tentu saja, garis batas kewenangan ini nantinya, Sumarta berharap penuh untuk menata kembali dari tata kelola dan tanggung jawab desa adat. Ini bagian pentingnya, ujar Sumarta. Apalagi di Bali didapati dua kewenangan pemerintahan. Yang memang harus diatur segala kewenangan dan wilayah kekuasaannya. Apa yang diamati oleh Sumarta akhir-akhir ini sangat mendistorsi kewenangan perangkat desa adat.
Misalnya, kata Sumarta, maraknya gejala sosial yang negatif di masyarakat seperti cafe, atau tawuran antardesa. Dengan berbagai kejadian ini, selalu yang disorot adalah pemerintahan desa adat. ”Bahkan banyak yang menyalahkannya karena dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan sosial di wilayahnya. Ini jadi aneh menurut saya,” tegasnya.
Sepertinya, lanjut Sumarta, banyak pihak yang tidak bisa memilah dari anatomi persoalan yang terjadi di masyarakat. Semuanya cenderung mempersoalkan pemerintah adat, karena tidak mau bertindak jika terjadi persoalan. Tetapi, hal ini menjadi renungan penting kepada prajuru adat pula. Pasalnya, Sumarta juga menyayangkan banyak keamanan desa adat yang melebihi kewenangannya. Misalkan razia cafe atau penduduk pendatang yang dilakukan oleh Pecalang, kata Sumarta adalah hal yang tidak benar. “Lha kalau begini, peran kepolisian dan pemerintah jadi hilang. Lalu, kalau terjadi apa-apa kena batunya ya Pecalang,” imbuhnya.
Paling tidak, apa yang dijelaskan oleh Sumarta menjelang pergantian tahun adalah membuat kesepahaman bersama. Sumarta lebih melihat kewajaran dari aktivitas masyarakat dalam beraktivitas di akhir tahun. Hanya saja, media yang dipakai dalam beraktivitas memang membutuhkan perhatian dari pemerintah. Sedangkan pemerintah adat tentu saja boleh memainkan peran, tetapi paling tidak bisa memilah kewenangannya. (beng)