Semakin menjamurnya tempat hiburan malam di wilayah Bali, di satu sisi memang memberikan dampak ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat. Perputaran uang dari bisnis ini lumayan tinggi. Namun bagi pengamat ekonomi Gede Made Sadguna, keberadaan tempat-tempat hiburan tersebut tidak seharusnya berkembang di Bali.
“Walaupun secara material menghasilkan manfaat ekonomi yang besar, perputaran uangnya besar, tapi untuk apa kalau bertentangan dengan konsep hidup orang Bali?” Sadguna mempertanyakan.
Wakil Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah III itu menegaskan, masyarakat Bali dari generasi ke generasi selalu berkomitmen dengan filosofi Tri Hita Karana dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk di bidang ekonomi. “Jagadhita ya ca iti dharma. Artinya, jagadhita berdasarkan dharma atau berdasarkan nilai-nilai spiritual. Nah kalau hiburan seperti itu, pertanyaan kita, apakah sesuai dengan nilai-nilai spiritual?” tanyanya lagi.
“Itu berarti kita selalu mengkonsumsi pleasure hanya untuk fisik kita, bukan untuk spiritual kita. Mestinya itu tidak pas untuk Bali,” tambah Sadguna.
Kata Sadguna, ada tiga pertanyaan dasar ekonomi yang penting untuk didefinisikan, yakni apa yang diproduksi, bagaimana cara memproduksinya, dan untuk siapa diproduksi. “Jadi kalau hiburan malam, untuk siapa diproduksi, bagaimana cara memproduksinya, penting diperhatikan. Bahwa dalam memproduksi itu tidak mengeksploitasi alam, itu sangat essensial dalam ekonomi spiritual,” tegasnya.
Untuk siapa sebenarnya tempat-tempat hiburan itu dibangun? “Untuk orang Bali, untuk orang Indonesia, untuk siapa?”
Meski tempat-tempat itu dibuat untuk masyarakat Indonesia terutama yang menghabiskan liburannya di Bali, konsep tempat-tempat hiburan tersebut diakui tidak pas. Pasalnya, kata Sadguna, pendiri negara ini mempunyai nilai yang sama dengan konsep orang Bali, yakni sebagai manusia Indonesia seutuhnya. “Melihat kesatuan manusia Bali tidak hanya badannya, tapi juga jiwanya, sehingga apapun yang diproduksi seharusnya tidak hanya untuk badannya orang Bali, tetapi juga untuk rohnya orang Bali, untuk jiwanya,” kata Sadguna.
Ditegaskan, bila usaha tersebut sudah dibangun di luar landasan spiritual orang Bali, maka seharusnya tidak diberi ruang. Konsumsi apapun yang tidak patut, jelas bertentangan dengan esensi filsafat hidup orang Bali.
Pemerintah Harus Tegas
Terhadap keberadaan tempat-tempat hiburan di wilayah Bali yang makin menjamur, juga disesalkan budayawan I Ketut Sumarta. Pria yang juga Sekretaris Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali itu menegaskan maraknya tempat tempat hiburan secara langsung maupun tidak langsung akan sangat merugikan masyarakat sekitarnya. “Dari segi perilaku, jelas merugikan masyarakat maupun lingkungannya,” ujar Sumarta.
Sumarta menilai pemerintah harus lebih tegas dalam menindak tempat tempat hiburan malam tersebut, terutama bagi mereka yang melanggar aturan. Ia menyesalkan adanya anggapan bahwa banyak tempat hiburan, terutama kafe remang-remang dibiarkan hidup karena dilindungi oleh desa adat. “Itu jelas anggapan yang nggak benar. Itu jelas kewenangan pemerintah untuk memberantas praktik-praktik itu.Kenapa adat ikut dilibatkan? Kalau mau menangkap, ya tangkap saja,” jelasnya.
Ia juga menyesalkan banyaknya usaha yang merusak, tetapi justru diberikan izin oleh pemerintah. “Itulah makanya MDP mengeluarkan dan menyepakati lewat pesamuan agung pertama bahwa segala investasi yang ada di wewengkon desa adat agar berkoordinasi dengan desa pakraman. Sayangnya, itu yang tidak diberikan ruang oleh negara,” sesalnya. (viani)
TANPA HIBURAN MALAM, BALI SEPI?
BALI tidak bisa dilepaskan dari hiburan malam. Banyak wisatawan, asing maupun domestik, sengaja datang ke Bali hanya untuk menikmati hiburan malamnya. Benarkah?
“Ah, itu hanya mengada-ada. Kalau wisatawan menjauh dari Bali karena tempat hiburan malamnya nggak ada, ya nggak apa-apa. Ada yang menjauh, tapi pasti juga akan ada yang mendekat,” pengamat ekonomi Gede Made Sadguna berpendapat.
Semuanya harus dikembalikan lagi pada konsep dasar pengembangan pariwisata Bali. “Makanya, pertanyaannya kemudian, siapa yang ingin kita datangkan? Kalau yang menjauh itu para penjahat, atau para wisatawan yang mass tourism, ya nggak apa-apa. Karena memang bukan itu targetnya pariwisata Bali. Target Bali itu adalah wisatawan yang peduli pada spiritual dan menjaga alam Bali. Jadi sebaiknya pariwisata Bali kembali ke konsep awalnya,” ujarnya.
Mass tourism atau pariwisata massal merupakan konsep pariwisata yang lebih mementingkan jumlah kedatangan wisatawan asing tanpa memperhatikan kualitasnya. Konsep pariwisata massal ini cenderung mengabaikan persaingan yang sehat antarpelaku usaha pariwisata maupun kualitas pelayanannya.
Dalam banyak kesempatan, Sadguna seringkali menegaskan pentingnya kembali pada konsep pariwisata Bali yang tidak hanya cultural tourism (pariwisata budaya), tetapi juga pariwisata yang berbasis Tri Hita Karana. Artinya natural based tourism (pariwisata berbasis alam), cultural based tourism (pariwisata berbasis budaya), dan spiritual based tourism (pariwisata berbasis spiritual).
“Mass tourism jelas dia tidak relevan dengan ini. Bukan itu yang kita inginkan, karena mass tourism bisa membawa ekses banyak pada nilai-nilai spiritual. Jadi yang kita harapkan adalah turis-turis yang datang ke sini ingin melihat, menikmati keindahan alam Bali, melihat keindahakan budaya Bali, keunikan budaya Bali, dan merasakan siraman rohani. Ada manfaat spiritual,” kata Sadguna.
Kalau toh Bali benar-benar bisa konsisten pada jalur spiritual tourism, kata Sadguna, bisa saja suatu saat Bali memiliki beberapa ashram yang dapat memberikan pelatihan pencerahan. “Jadi sama-sama kita ingin menghasilkan dolar, tetapi dengan tetap menjaga kemurnian Bali, manusia Bali, alam Bali dan budaya Bali. Sehingga hal-hal seperti mass tourism yang berefek negatif nggak relevan dengan kita,” jelas Sadguna.
Sebagai upaya mengendalikan maraknya tempat-tempat hiburan di Bali, pemerintah menurutnya harus menjadi pengendali utama. “Dalam sistem apapun, selalu mulainya dengan policy dan regulasi. Pemerintah harus bersikap.Harus ada blue print pariwisata Bali mau dibawa ke mana?” ujarnya.
Ia menyarankan agar segera dibangun blue print pariwisata Bali yang berbasis Tri Hita Karana. Dengan demikian, semua kebijakan, peraturan, dan peraturan daerah (Perda) semua tingkatan harus dijiwai dengan falsafah Tri Hita Karana. “Harus konsisten dengan konsep Tri Hita Karana, sehingga kita tidak akan bisa mentolerir kafe, apalagi kafe yang remang-remang. Nggak relevan,” tegasnya.
Langkah alternatif lain yang bisa ditempuh, kata Sadguna, adalah dengan membuat kebijakan segmentasi pasar, seperti yang diterapkan di beberapa negara seperti Thailand dan Malaysia. Di Thailand misalnya, ada kebijakan mengatur dua lokasi berbeda untuk mass tourism dan cultural tourism. “Jadi di wilayah dengan mass tourism, tempat hiburan malam diperbolehkan, namun diatur agar kalangan tertentu terutama anak-anak dilarang masuk. Sedangkan di wilayah spiritual tourism, anak-anak dibebaskan bermain. Jadi Thailand punya dua-duanya, mass tourism dan cultural tourism. Hanya saja, ada regulasi yang jelas,” ujarnya.
Kondisi ini menurutnya jauh berbeda dengan di Indonesia, di mana tempat hiburan dibebaskan terbangun di semua wilayah tanpa terkecuali. Ia menyarankan konsep serupa diterapkan di Bali. Ia mencontohkan, kawasan Kuta saat ini bisa dipertahankan untuk mass tourism karena sudah banyak sekali club malam di wilayah itu. “Kuta karena sudah telanjur begitu, biarkan saja. Di sana digunakan sebagai mass touism. Untuk sebagian besar wilayah Bali lainnya, harus berbasis spiritual tourism,”ia menegaskan. (viani)