Memasuki bulan Oktober, harga eceran beras berlabel sempat mencapai Rp 220.000 per 25 kilogram. Tak lama kemudian mulai menurun, tetapi masih di atas harga dua ratus ribuan. Berfluktuasinya harga beras sebagai komoditi utama, sangat dirasakan sebagian besar masyarakat. Sedikit saja harga naik, maka akan mempengaruhi komoditi lainnya.
Saat ini, masyarakat belumlah membedakan mana beras yang sehat untuk dikonsumsi. Bagi mereka, yang terpenting ada beras untuk dimasak. Dari informasi yang berhasil dihimpun, tingginya harga beras, akibat di beberapa wilayah di Bali khususnya, banyak terjadi gagal panen. Penyebabnya, hama penyakit yang dipicu oleh kondisi cuaca ekstrem.
Untuk diketahui, bahwa pasokan beras yang didatangkan dari Jawa, sebagian besar berasal dari daerah Jembrana, Tabanan, dan Klungkung. Beras yang mereka beli di Bali diproses lebih lanjut di Jawa, lalu dikemas, dan selanjutnya dipasarkan ke Bali. Jadi, kalau saat ini di Bali terjadi gagal panen, tentu akan mengurangi jumlah yang bisa dipasok. Hal ini jelas mengakibatkan melambungnya harga beras, seperti yang sekarang sedang terjadi.
“Gagal panen sesungguhnya lebih sering terjadi pada pertanian yang menerapkan pola tanam mono kultur, seperti jenis padi saja, tanpa diselingi dengan palawija. Dan masih mempertahankan pemakaian pupuk kimia secara berlebih, sebagai doping tanaman padi. Jelas hal ini akan memperparah kesuburan lahan, sehingga sangat sedikit yang bisa dimanfaatkan oleh tanaman. Nah, dengan berkurangnya ketersediaan nutrisi, tentu tanaman lebih mudah terserang hama penyakit. Akibatnya, berdampak pada kualitas dan kuantitas hasil produksi,” jelas Wayan Cita, SP., Kepala Bidang Pengkajian Teknologi Pertanian dan Hortikultura Kota Denpasar kepada para petani di Subak Margaya, Denpasar Barat.
Ditambahkan, “Banyak faktor yang menjadi pemicu serangan terhadap tanaman padi tersebut.”
Faktor lain yang menjadikan harga beras mahal, akibat meruginya para pengijon. Seperti yang dikatakan Wayan Darna, staf unit Agro Kharisma Farm, “Saat padi mulai masak susu, sudah ada pengijon yang memberikan uang muka (ceng) kepada petani. Lima belas hari kemudian, situasi tersebut berubah secara drastis, di mana pada bagian leher padi mulai membusuk (potong leher), dan akhirnya malai padi akan kosong. Jelas saja si pengijon panik, karena dapat dipastikan mengalami kerugian.” Dari pantauan di beberapa wilayah binaan Kharisma Farm, ditemukan bahwa sebagian besar tanaman padi yang memakai pupuk Agrodyke masih terhindar dari serangan virus tersebut.
“Serangan potong leher tersebut terjadinya sangat mendadak,” jelas Wayan Suasa, Kepala Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Mengwi, Badung. Hal ini terjadi pada demplot padi yang dilaksanakan di lahan BPP. “Karena terlambat menyemprot, seluruh demplot terserang, sehingga kami gagal panen. Kalau di Subak Bulan, Desa Gulingan, Mengwi, dari awal gejalanya sudah diketahui, sehingga tanaman padi yang terserang segera dicabut dan dimusnahkan. Terlambat sedikit saja, maka akan menjalar ke seluruh areal subak Bulan,” jelas Nyoman Suriana, Petugas Penyuluh Lapangan setempat.
“Masa tanam padi periode bulan Maret - Oktober, terutama pada Sasih Kapat, biasanya memperoleh hasil yang baik. Bahkan sampai dengan November terjadi panen raya. Harga gabah cukup terjangkau, sehingga para pemasok gabah akan membeli sebanyak mungkin,” jelas Mande Juniarta, staf Kharisma Farm yang mengkoordinir proses gabah menjadi beras. Namun saat ini kenyataannya berbeda. Dari pantauan di lapangan, dikatakan banyak terjadi gagal panen karena serangan virus.
Sementara Dewa Astina, pemilik Padi Agro di Subak Cemagi, Badung, mengatakan, “Sebagian besar tanaman padi yang berada di wilayah dekat pantai tidak ada gejala potong leher. Tetapi pada dataran yang lebih tinggi, apalagi yang terkena imbas sayong (embun), pasti akan diserang.” Walaupun tidak terkena, kebanyakan petani di daerah Cemagi melaksanakan pencegahan dengan menyemprotkan pupuk Agrodyke ke seluruh bagian tanaman. Hal ini sesuai dengan multi fungsi daripada pupuk tersebut.
“Menurunnya harga beras beberapa minggu terakhir ini, belum menjamin akan stabilnya harga,” jelas beberapa pengecer beras di Pasar Sanglah, seperti yang dikutip tim pemasaran dari Unit Kharisma Farm. Kebanyakan beras yang tersedia di pasaran saat ini, sangat berbeda dengan sebelumnya. Mungkin saja berasal dari beras yang sengaja distock untuk mengantisipasi keadaan yang telah diprediksi sebelumnya. Bagi mereka yang telah lama menggeluti pekerjaan ini, cara yang demikian sudah mereka alami pada setiap tahunnya. Maka tidak heran ketika tidak ada panen raya, beras masih beredar di pasaran.
KEBERPIHAKAN PETANI
IMBAUAN pemerintah melalui Dinas Pertanian terhadap pengurangan pemakaian pupuk anorganik, sampai saat ini sudah mampu menyentuh para petani penggarap. Artinya, program Go Green Pemerintah Provinsi Bali dengan semangat para penyuluh di lapangan, sudah mulai berhasil merubah kebiasaan petani. Dampak positifnya, mulai bermunculan produksi beras sehat maupun beras organik. Hanya saja, sampai saat ini belum sepenuhnya mendapat dukungan dari konsumen, mengingat masih ada pilihan beras lain dengan harga terjangkau.
Namun demikian, ada hal yang masih harus ditekankan lagi kepada petani agar tidak menjual padi sebelum panen. Karena para pengijon akan beraksi saat padi mulai masak susu. Dan merekalah yang akan menentukan standar harga tertentu tanpa membedakan hasil produksi, apakah itu diperlakukan dengan pupuk anorganik atau pupuk organik. Di sinilah petani sering bimbang untuk memutuskan. “Kalau tidak segera dijual, banyak keperluan dana untuk keluarga. Kalau ditunda, konsekuensinya dihargai serendah mungkin, karena sudah lewat waktu misalnya,” ungkap Komang Rata, Pekaseh Subak Penataran, Marga, Tabanan.
“Dari padi mulai masak susu sampai dengan siap panen, rentan sekali terhadap beberapa gangguan. Seperti yang terjadi pada musim tanam saat ini, di mana 14 hari sebelum panen tanaman padi terserang potong leher. Selain itu, risiko dimakan burung, maupun yang lainnya.
Itulah umumnya kondisi yang dihadapi petani, sehingga keberpihakan petani lebih cenderung kepada para pengijon. “Walaupun dihargai lebih murah, mengingat kebutuhan dana yang mendesak, membuat kami memilih menjual ke pengijon. Buat mereka, sepertinya tidak ada jalan lain lagi,” ungkap Nyoman Rajin, Ketua Unit Pupuk dan Sarana, Subak Margaya, Denpasar, saat berbincang dengan Wayan Darna.
Ditambahkan, “Kalau padinya sudah diberikan ceng, berarti petani hanya menunggu pelunasan saja. Karena saat panen, si penebas yang menyiapkan tenaga kerja beserta kelengkapannya. Kalau panen sendiri, tenaga lokal sulit dicari, sehingga padinya lewat waktu.”
Awal sosialisasi program Yarnen Bali Madani sudah disepakati beberapa hal, di antaranya gabah akan dibeli per kilogram pada saat panen. Namun, begitu padi mulai masak susu, kebanyakan petani sudah ada yang memutuskan untuk ditaksir saja. Dan dua minggu menjelang panen para petani sudah bertemu dengan pengurus koperasi untuk menyepakati harga beli gabah nantinya. Apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, secara sepihak dilanggar oleh beberapa petani. Mereka berubah, minta dijual berdiri. Tentu hal ini memperlihatkan bahwa petani belum memiliki pengalaman untuk dijual gabahnya per kilogram kering panen. Padahal, dengan dijual per kilogram, kedua belah pihak akan mendapatkan hasil secara transparan.
Menyikapi hal tersebut, tidak ada pilihan lain bagi unit Agro untuk mencoba mengikuti keinginan petani. Dan setelah sebagian dilakukan penimbangan, ternyata hasilnya lebih banyak daripada yang ditaksir. “Mudah-mudahan, pada masa panen berikutnya petani bersedia menjual gabahnya pada saat panen,” demikian harapan Wayan Ajus Sucitrawan, staf unit Agro yang bertugas mengkoordinir pembelian gabah petani.