Awal Oktober lalu, RSUD Badung menolong persalinan ibu yang teridentifikasi ODHA. Ibu rumah tangga berusia 30-an tahun itu, melahirkan bayinya dengan operasi caesar yang disarankan oleh dokter. Tak ada kelainan fisik apapun pada bayi. Hanya saja menunggu 18 bulan lagi untuk mengetahui sang bayi apakah juga terinfeksi HIV/AIDS.
Awalnya, Maret 2012, ibu yang tinggal di sebuah desa di Kabupaten Badung ini memeriksakan kehamilannya kepada bidan di desa. Bidan tak bisa melakukan pemeriksaan langsung pada saat itu. Awal yang dilakukan bidan adalah melakukan anamnesa, salah satu metode menggali riwayat ibu hamil dengan bercerita yang kemudian dijadikan analisis untuk simpulan sementara dari identifikasi awalnya.
Sang bidan mengenal secara langsung kondisi rumah tangga si ibu karena memang sama-sama tinggal dalam satu desa. Begitu juga pola pekerjaan suami yang ternyata membuat bidan di desa ini untuk memutuskan agar si ibu memeriksakan kehamilannya di RSUD Badung.
Ternyata, analisis ini begitu penting hingga mengantar sang ibu yang hamil itu untuk memeriksakan secara komprehensif tentang dirinya. Bulan April 2012, si ibu ini beranjak di RSUD Badung dengan membawa hasil laporan anamnesa dari bidan. Si ibu kemudian menginjakkan kakinya ke klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) yang juga menjadi bagian dari RSUD Badung. Pemeriksaan darah pun dilakukan, dan memang positif bahwa si ibu hamil tersebut terinfeksi HIV/AIDS.
Mengetahui Ibu hamil dengan status ODHA, pihak VCT memindahkan si ibu ke klinik unit Program Preventif Mother to Child Transmision (PMTCT) yang juga berada di RSUD Badung. Tak hanya dengan bidan di desa, ibu hamil dengan ODHA ini juga tak segan menceritakan apapun tentang dirinya. Menurut Kepala Seksi Rekam Medik dan Humas RSUD Badung, dr. Eka Prasta, tak mudah biasanya ibu hamil ODHA bisa menceritakan dengan enak tentang dirinya dan keluarganya atau rumah tangganya. “Lain dengan ibu yang satu ini,” katanya.
Seperti dituturkan dr. Eka, ibu ini tak didapati perasaan kaget dan shock saat mengetahui dirinya ODHA. Sepertinya ibu ini sudah siap dengan keadaan yang akan terjadi. “Tidak terlalu terlihat sikap depresinya. Seperti sudah siap dengan apapun yang terjadi,” ujar dr. Eka. Bisa jadi, ibu rumah tangga ini sudah mengetahui banyak hal tentang AIDS dari proses awal di bidan hingga di klinik VCT dan PMTCT.
Ketegarannya itu yang membuat ibu hamil ODHA ini lebih konstruktif dalam usaha sebelum persalinan. Dari rekam pasien di klinik unit PMTCT, ibu tersebut tak pernah terlambat untuk melakukan kunjungan kontrol di rumah sakit. Dan selalu aktif untuk meminta obat antiretroviral (ARV). Obat ini yang menggabungkan tiga macam obat untuk penyembuhan AIDS. Manfaat dari obat ini tak lain diantaranya menurunkan angka kematian berkaitan dengan infeksi HIV. Selebihnya tentu saja untuk menurunkan angka perawatan di rumah sakit terkait ODHA, menekan jumlah virus HIV di darah, dan memulihkan kembali kekebalan tubuh yang menurun.
Manfaat yang juga penting bagi mereka yang minum obat ARV secara teratur adalah risiko menularkan kepada orang lain menjadi amat kecil. Pengetahuan inilah yang didapatkan ibu hamil ODHA dari RSUD Badung itu, sehingga menyemangati agar tak tertular pada bayi yang dikandungnya.
Ibu tersebut, kata dr. Eka, rajin berkunjung ke klinik PMTCT sebelum obat ARV-nya habis. Karena pihak rumah sakit memberikannya hanya 30 butir dalam sebulan. “Biasanya, sebelum 30 butir itu habis, beliau si ibu hamil itu sudah datang berkunjung dan meminta obat ARV,” katanya.
Obat ini, kata dr. Eka memang diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Karena obat ini adalah bagian dari bantuan pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan yang didistribusikan kepada rumah sakit. “Jadi, kami tidak bisa memungut biaya sepeserpun untuk obat ini, karena ini hak dari pasien ODHA,” katanya.
Komunikasi Efektif
Pada penanganan ibu hamil ODHA, kata dr. Eka, tidak spesifik berbeda dengan ibu hamil lainnya. Ternyata melayani ibu hamil ODHA sama dengan ibu hamil pada umumnya. Hanya saja, penekanannya pada konseling psikologis dan cara komunikasi yang efektif. Layak saja, kemudian, petugas PMTCT-RSUD Badung aktif melakukan pelatihan khusus bagi tim operasionalnya.
PMTCT-RSUD Badung didirikan pada 2010 lalu. Ada sekitar 9 orang di dalam tim PMTCT-RSUD Badung yang unsurnya adalah bidan dan dokter. Ditambah lagi satu orang dokter obgyn seperti dr. Ida Bagus Widi Ariana yang menolong persalinan ibu dengan ODHA tersebut.
Saat ini, ada sekitar 6 orang ibu hamil ODHA yang sedang melakukan terapi di klinik PMTCT-RSUD Badung ini. Klinik PMTCT yang berukuran sekitar 5X5 meter dengan cat warna kuning itu ternyata juga aktif dikunjungi oleh 6 orang ibu hamil ODHA tersebut. Sungguh para ibu yang sadar tentunya.
Sedangkan bayi yang sudah dilahirkan oleh ibu yang sempat diceritakan di awal, kondisinya menurut dr. Eka sehat.
“Bayi itu sehat sejak dalam kandungan dan saat melahirkan. Jantungnya bagus dan normal. Tiga hari setelah persalinan kami perbolehkan ibu tersebut pulang dengan bayinya. Hanya saja kami berpesan jangan disusui dengan ASI dan memandikan bayinya jangan sampai kulitnya lecet,” katanya.
Kondisi bayi yang normal, tentu saja juga harus terpantau oleh PMTCT-RSUD Badung. Dokter Ida Bagus Widi Ariana, melalui dr. Eka akan menunggu bayi selama 18 bulan untuk kemudian menyimpulkan lagi apakah bayi tersebut juga terinfeksi atau tidak. Upaya layanan itulah yang menjadi fokus perhatian PMTCT-RSUD Badung saat ini.
Alasan kenapa harus 18 bulan, dr. Eka menjelaskan bahwa secara teoritis peredaran darah si bayi sudah tidak bercampur lagi dengan darah si ibu. Dari usia ini, barulah bisa disimpulkan lebih dalam apakah bayi terinfeksi atau tidak. “Kalau masa persalinan awal, bisa dikatakan bayi akan terinfeksi karena pertautan tali pusar yang masih sedarah dengan ibu. Tetapi evaluasi menyeluruh kepada bayi akan disimpulkan pada usia 18 bulan itu,” katanya.
Semangat para ibu, itu tentu memberikan arti lain dari cerita horor oleh banyak media. Tentu, harapannya akan bisa menerobos menjadi pilihan harapan. Bahwa ibu hamil ternyata memiliki risiko yang awalnya selalu mempergunjingkan waria, pekerja seks ataupun kelompok gay sebagai kelompok yang rentan. Tentu menjadi pemikiran lain dari kasus di Badung ini. Siapapun bisa terinfeksi dan positif ODHA. Maka, pilihannya mencegah dan berhati-hati dengan pola hidup. Dan bagi ODHA akan selalu mendapatkan tempat sebagai manusia yang sama untuk dilayani dengan fasilitas kesehatan. (beng)